Kebudayaan merupakan wujud dari
peradaban manusia, sebagai hasil akal-budi manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya baik primer, sekunder, atau tersier. Wujud kebudayaan ini cukup
beragam, mencakup wilayah bahasa, adat-istiadat, seni (rupa, sastra,
arsitektur), ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dan setiap kebudayaan yang lebih
maju pasti mendominasi kebudayaan yang berada di bawahnya. Begitu pula
kebudayaan India yang dengan mudah diterima masyarakat Indonesia.
Pengaruh Hindu dan Buddha terhadap
kehidupan masyarakat Indonesia dalam bidang kebudayaan, berbarengan dengan
datangnya pengaruh dalam bidang agama itu sendiri. Pengaruh tersebut dapat
berwujud fisik dan nonfisik. Hasil kebudayaan pada masa Hindu-Buddha di
Indonesia yang berwujud fisik di antaranya: arca atau patung, candi (kuil),
makara, istana, kitab, stupa, tugu yupa, prasasti, lempengan tembaga, senjata
perang, dan lain-lain. Sedangkan peninggalan kebudayaan yang bersifat nonfisik
di antaranya: bahasa, upacara keagamaan, seni tari, dan karya sastra.
Wilayah India yang cukup banyak
memberikan pengaruhnya terhadap Indonesia adalah India Selatan, kawasan yang
didiami bangsa Dravida. Ini terbukti dari penemuan candi-candi di India yang
hampir menyerupai candi-candi yang ada di Indonesia. Begitu pula jenis aksara
yang banyak ditemui pada prasasti di Indonesia, adalah jenis huruf Pallawa yang
digunakan oleh orangorang India selatan.
Meskipun budaya India berpengaruh
besar, akan tetapi masyarakat Indonesia tidak serta-merta meniru begitu saja
kebudayaan tersebut. Dengan kearifan lokal masyarakat Indonesia, budaya dari
India diterima melalui proses penyaringan (filtrasi) yang natural. Bila
dirasakan cocok maka elemen budaya tersebut akan diambil dan dipadukan dengan
budaya setempat, dan bila tak cocok maka budaya itu dilepaskan. Proses
akulturasi budaya ini dapat dilihat pada model arsitektur, misalnya, punden
berundak (budaya asli Indonesia) pada Candi Sukuh di
Jawa Tengah; atau pada dindingdinding
Candi Prambanan yang
memuat relief tentang kisah pewayangan yang memuat tokoh Punakawan; yang dalam
relief manapun di India takkan ditemui.
1. Praktik Peribadatan
Pengaruh Hindu-Buddha
terhadap aktifitas keagamaan di Indonesia tercermin hingga kini. Kalian dapat
merasakannya kini di Bali, pulau yang mayoritas penduduknya penganut Hindu.
Kehidupan sosial, seni, dan budaya mereka cukup kental dipengaruhi tradisi
Hindu. Jenazah seseorang yang telah meninggal biasanya dibakar, lalu abunya
ditaburkan ke laut agar “bersatu” kembali dengan alam. Upacara yang disebut ngaben
ini memang tidak diterapkan kepada semua umat Bali-Hindu, hanya orang yang
mampu secara ekonomi yang melakukan ritual pembakaran mayat (biasa golongan
brahmana, bangsawan, dan pedagang kaya).
Selain Bali, masyarakat
di kaki Bukit Tengger di Malang, Jawa Timur, pun masih menjalani keyakinan
Hindu. Meski sebagian besar masyarakat Indonesia kini bukan penganut Hindu dan
Buddha, namun dalam menjalankan praktik keagamaannya masih terdapat unsur-unsur
Hindu-Buddha. Bahkan ketika agama Islam dan Kristen makin menguat, pengaruh
tersebut tak hilang malah terjaga dan lestari. Beberapa wilayah yang sebelum
kedatangan Islam dikuasi oleh Hindu secara kuat, biasanya tidak mampu
dihilangkan begitu saja aspek-aspek dari agama sebelumnya tersebut, melainkan
malah agama barulah (Islam dan Kristen) mengadopsi beberapa unsur kepercayaan
sebelumnya. Gejala ini terlihat dari munculnya beberapa ritual yang merupakan
perpaduan antara Hindu-Buddha, Islam, bahkan animisme-dinamisme. Contohnya:
ritual Gerebeg Maulud yang setiap tahun diadakan di Yogyakarta,
kepercayaan terhadap kuburan yang mampu memberikan rejeki dan pertolongan,
kepercayaan terhadap roh-roh, kekuatan alam dan benda keramat seperti keris,
patung, cincin, atau gunung.
Ketika Islam masuk ke
Indonesia, kebudayaan Hindu- Buddha telah cukup kuat dan mustahil dapat
dihilangkan. Yang terjadi kemudian adalah akulturasi antara kedua agama
tersebut. Kita bisa melihatnya pada acara kelahiran bayi, tahlilan bagi orang
meninggal, dan nadran (ziarah). Acara-acara berperiode seperti tujuh hari,
empat puluh hari, seratus hari, tujuh bulanan merupakan praktik kepercayaan
yang tak terdapat dalam ajaran Islam atau Kristen.
Perbedaan antara
unsur-unsur agama yang berbeda dan bahkan cenderung bertolak belakang itu,
bukanlah halangan bagi masyarakat Indonesia untuk menerima dan menyerap ajaran
agama baru. Melalui kearifan lokal (local genius) masyarakat Indonesia,
agama yang asalnya dari luar (Hindu, Buddha, Islam, Kristen) pada akhirnya
diterima sebagai sesuatu yang tidak “asing” lagi. Bila unsur agama tersebut
dirasakan cocok dan tak menimbulkan pertentangan dalam masyarakat, maka ia akan
disaring terlebih dahulu lalu diambil untuk kemudian dipadukan dengan budaya
yang lama; dan bila tak cocok maka unsur tersebut akan dibuang. Dengan
demikian, yang lahir adalah agama sinkretisme, yaitu perpaduan antardua unsur
agama dan kebudayaan yang berbeda sehingga menghasilkan praktik agama dan
kebudayaan baru tanpa mempertentangkan perbedaan tersebut, malah mempertemukan
persamaan antarkeduanya. Jelaslah, dari dulu bangsa Indonesia telah mengenal
keragaman agama dan budaya (pluralisme) tanpa harus bertengkar.
2. Sistem Pendidikan
Sriwijaya merupakan
kerajaan pertama di Indonesia yang telah menaruh perhatian terhadap dunia
pendidikan, khususnya pendidikan Buddha. Aktifitas pendidikan ini diadakan
melalui kerjasama dengan kerajaan-kerajaan di India. Hubungan bilateral dalam
bidang pendidikan ini dibuktikan melalui Prasasti Nalanda dan catatan I-Tsing.
Berdasarkan keterangan
Prasasti Nalanda yang berada di Nalanda, India Selatan, terdapat banyak pelajar
dari Sriwijaya yang memperdalam ilmu pengetahuan. Catatan I-Tsing menyebutkan,
Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha yang cocok sebagai tempat para calon
rahib untuk menyiapkan diri belajar Buddha dan tata bahasa Sansekerta sebelum
berangkat ke India. Di Sriwijaya, menurut I-Tsing, terdapat guru Buddha yang
terkenal, yaitu Sakyakerti yang menulis buku undang-undang berjudul Hastadandasastra.
Buku tersebut oleh I-Tsing dialihbahasakan ke dalam bahasa Cina.
Selain Sakyakerti,
terdapat pula rahib Buddha ternama di Sriwijaya, yaitu Wajraboddhi yang
berasal dari India Selatan, dan Dharmakerti. Menurut seorang penjelajah
Buddha dari Tibet bernama Atica, Dharmakerti memiliki tiga orang murid
yang terpandang, yaitu Canti, Sri Janamitra, dan Ratnakirti.
Atica sempat beberapa lama tinggal di Sriwijaya karena ingin menuntut ilmu
Buddha. Ketika itu, agama Buddha klasik hampir lenyap disebabkan aliran Tantra
dan agama Islam mulai berkembang di India, sehingga ia memilih pergi ke
Sriwijaya untuk belajar agama.
Pada masa berikutnya,
hampir di setiap kerajaan terdapat asrama-asrama (mandala) sebagai
tempat untuk belajar ilmu keagamaan. Asrama ini biasanya terletak di sekitar
komplek candi. Selain belajar ilmu agama, para calon rahib dan biksu belajar
pula filsafat, ketatanegaraan, dan kebatinan. Bahkan istilah guru yang
digunakan oleh masyarakat Indonesia sekarang berasal dari bahasa Sansekerta,
yang artinya “kaum cendikia”.
3. Bahasa dan Sistem
Aksara
Bahasa merupakan unsur
budaya yang pertama kali diperkenalkan bangsa India kepada masyarakat
Indonesia. Bahasalah yang digunakan untuk menjalin komunikasi dalam proses
perdagangan antarkedua pihak, tentunya masih dalam taraf lisan. Bahasa yang
dipraktikkan pun adalah bahwa Pali, bukan Sansekerta karena kaum pedagang
mustahil menggunakan bahasa kitab tersebut.
Bahasa Pali atau Pallawa
merupakan aksara turunan dari aksara Brahmi yang dipakai di India selatan dan
mengalami kejayaan pada masa Dinasti Pallawa (sekitar Madras, Teluk Benggali)
abad ke-4 dan 5 Masehi. Aksara Brahmi juga menurunkan aksara-aksara lain di
wilayah India, yaitu Gupta, Siddhamatrka, Pranagari, dan Dewanagari. Aksara
Pallawa sendiri kemudian menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dan
tertulis pada prasasti-prasasti berbahasa Melayu Kuno zaman Sriwijaya. Istilah pallawa
pertama kali dipakai oleh arkeolog Belanda, N.J. Krom; sarjana lain
menyebutnya aksara grantha.
Praktik bahasa Sansekerta
pertama kali di Indonesia bisa dilacak pada yupa-yupa peninggalan Kerajaan
Kutai di Kalimantan Timur. Huruf yang dipakai adalah Pallawa. Dikatakan bahwa
di kerajaan tersebut terdapat seorang raja bernama Kudungga, memiliki
anak yang bernama Aswawarman, dan juga memiliki cucu Mulawarman.
Menurut para ahli bahasa, Kudungga dipastikan merupakan nama asli Indonesia,
sedangkan Aswawarman dan Mulawarman sudah menggunakan bahasa India. Penggantian
nama tersebut biasanya ditandai dengan upacara keagamaan.
Pengaruh agama Hindu
dalam aspek bahasa akhirnya menjadi formal dengan munculnya bahasa Jawa dan
Melayu Kuno serta bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia yang banyak sekali
menyerap bahasa Sansekerta. Beberapa karya sastra Jawa ditulis dalam bahasa Jawa
Kuno dengan cara mengonversikan atau menambahkan (menggubah) karya sastra yang
dibuat di India. Selain Sansekerta, bahasa Pali, Tamil, dan Urdu atau
Hindustani (digunakan di Pakistan dan sebagain India) pun memperkayai kosakata
penduduk Indonesia. Namun, pada perkembangannya Sansekertalah bahasa yang
paling berpengaruh dan dipakai hingga kini oleh orang Indonesia. Bahasa
Sansekerta merupakan bahasa tulisan. Bahasa ini tertulis dalam prasasti, yupa,
kitab suci, kitab undang-undang (hukum), karya sastra. Maka dari kata-katanya
dapat lebih abadi dan dipertahankan.
Pengaruh tersebut
kemudian dilanjutkan dengan proses penyerapan
bunyi. Kadang kita tidak menyadari bahwa bahasa yang kita gunakan tersebut
merupakan serapan dari bahasa Sansakerta. Perubahan bunyi pada serapan ini
terjadi karena logat dan dialek setiap suku-bangsa berbeda. Makna awalnya pun
sebagian telah mengalami perubahan: ada yang meluas dan ada yang menyempit.
Namun, adapula beberapa kata yang maknanya belum bergeser, contohnya: tirta berarti
air; eka, dwi, tri berarti satu, dua, tiga; kala berarti
waktu atau bisa juga bencana.
Berikut ini kata-kata Indonesia
serapan dari kata-kata Sansekerta:
(a) sayembara, dari silambara
(b) bentara, dari avantara
(c) harta, dari artha
(d) istimewa, dari astam eva
(e) durhaka, dari drohaka
(f) gembala, dari gopala
(g) karena, dari karana
(h) bahagia, dari bhagya
(i) manusia, dari manusya
10. senantiasa, dari nityasa
Mengenai perkembangan aksara, di
Indonesia terdapat beberapa jenis aksara yang merupakan turunan dari aksara
Pallawa. Di Jawa ada aksara Kawi, aksara Kawi ini pada perkembangan selanjutnya
menurunkan aksara Hanacaraka atau Ajisaka yang digunakan untuk bahasa Jawa,
Sunda, dan Bali. Adapula prasasti zaman Mataram di Jawa Tengah bagian selatan yang
menggunakan aksara Pranagari yang umurnya lebih tua dari aksara Dewanagari.
Sementara itu, di wilayah Sumatera
Utara (dengan dialek Toba, Dairi, Karo, Mandailing, dan Simalungun) ada aksara
Batak, sedangkan di daerah Kerinci, Lampung, Pasemah, Serawai, dan Rejang
terdapat aksara Rencong. Sementara itu, di daerah Sulawesi bagian selatan ada
aksara Bugis dan Makassar. Dari perkembangan aksara-aksara turunan Pallawa,
kita dapat memperkirakan wilayah mana saja di Indonesia yang pengaruh budaya
Indianya lebih kental, yakni Jawa, Sumatera, dan
sebagian Sulawesi. Sedangkan daerah-daerah
lainnya di Indonesia tak begitu dipengaruhi budaya
India, bahkan ada daerah
yang sama sekali tak tersentuh budaya Hindu-Buddhanya.
Mengenai aksara
Hanacaraka, terdapat sebuah legenda yang berkaitan dengan nama Ajisaka.
Ajisaka merupakan cerita rakyat yang berkembang secara lisan, terutama hidup di
masyarakat Jawa dan Bali. Tokoh, Ajisaka, berkaitan dengan bangsa Saka dari
India barat laut. Sebagian masyarakat Jawa percaya bahwa Ajisaka dahulu pernah
hidup di Jawa dan berasal dari India. Mereka juga percaya bahwa Ajisakalah yang
menciptakan aksara Jawa dan kalender Saka.
4. Seni Arsitektur dan
Teknologi
Sebelum unsur-unsur
Hindu-Buddha masuk, masyarakat Indonesia telah mengenal teknologi membuat
bangunan dari batu pada masa Megalitikum. Mereka telah pandai membangun menhir,
sarkofagus, peti (kuburan) kubur, patung sederhana, dan benda benda dari batu lainnya. Setelah berkenalan dengan seni
arsitektur Hindu-Buddha, mereka kemudian mengadopsi teknologinya.
Jadilah candi, stupa, keraton,
makara yang memiliki seni hias (relief) dan arsitekturnya yang lebih beraneka.
a. Candi
Candi berasal dari frase candika
graha yang berarti kediaman Betari Durga. Durga ini disembah
terutama oleh umat Buddha. Dalam dunia pewayangan di Indonesia, Durga merupakan
istri Dewa Siwa yang dikutuk dari berwajah cantik menjadi raksasa. Yang
pertama mendirikan candi di India diduga adalah umat Buddhis. Ini terlihat dari
temuan candi tertua di sana yang dibangun pada abad ke-3 SM. Pada perkembangan
berikutnya, candi pun didirikan oleh umat Hindu.
Awalnya, candi didirikan sebagai
tempat penyimpanan abu hasil pembakaran jenazah raja. Karena itu, di candi yang
disebut pripih sering ditemukan sebuah wadah penyimpanan abu jenazah. Di atas
abu jenazah tersebut terpampang arca raja bersangkutan. Disimpan pula patung
dewa tertentu, biasanya dewa ini dipuja oleh almarhum yang bersangkutan. Pada
dinding-dinding candi biasanya terdapat deretan relief yang mengisahkan cerita-cerita
Mahabharata atau Ramayana atau kisah sastra lainnya. Pada candi
Buddhis biasanya terdapat relief seputar kehidupan Siddharta. Fungsi candi
selanjutnya berkembang menjadi tempat sembahyang (berasal dari frase “sembah
hyang”) untuk dewa-dewi.
Jawa adalah tempat yang paling
banyak terdapat candi, disusul oleh Sumatera. Ini menandakan bahwa perkembangan
agama dan kebudayaan Hindu-Buddha berlangsung lebih pesat di Jawa, terutama di
Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pusat-pusat pemerintahan pada masanya.
Berdasarkan arsitektur dan tempat dibangunnya, candi-candi di Indonesia dapat
dibagi atas: candi yang terletak di Jawa Tengah (bagian selatan dan utara),
Jawa Timur, dan lain-lainnya seperti di Sumatera, Bali, dan Jawa Barat.
Bentuk candi-candi di Jawa Tengah di
bagian selatan berbeda dengan yang ada di bagian utara. Namun demikian, secara
umum (Soetarno, 2003) candi-candi yang ada di kedua wilayah tersebut memiliki
kesamaan, yaitu:
(1) Bentuk bangunan tampak lebih
gemuk, terbuat dari batu andesit.
(2) Atapnya berbentuk undak-undakan
dan puncaknya berbentuk stupa atau ratna.
(3) Pada pintu dan relung terdapat
hiasan bermotif makara.
(4) Reliefnya timbul agak tinggi dan
lukisannya bercorak naturalis (dua dimensi).
(5) Letak candi utama terletak di tengah-tengah
halaman komplek candi muka candi menghadap ke arah timur.
b. Stupa
Stupa merupakan tempat penyimpanan
abu sang Buddha dan melambangkan perjalanan Sang Buddha menuju nirvana.
Setelah wafat, jasad Buddha dikremasi, lalu abunya disimpan dalam delapan stupa
terpisah di utara India. Pada masa kuno di India, stupa digunakan sebagai makam
penyimpanan abu bangsawan atau tokoh tertentu. Stupa kemudian dijadikan lambang
Buddhisme dan menunjukkan luas pengaruh Buddhisme di berbagai kawasan. Semasa
pemerintahan Ashoka (abad ke-2 SM) di India dibangun banyak stupa untuk
menandakan Buddha sebagai agama kerajaan. Di Asia Tenggara dan Timur, stupa
juga didirikan sebagai pengakuan terhadap Buddhisme di wilayah bersangkutan.
Stupa terdiri atas tiga bagian, yaitu andah, yanthra, dan cakra.
Andah melambangkan dunia bawah, tempat manusia yang masih dikuasai hawa
nafsu, Yanthra merupakan suatu benda untuk memusatkan pikiran saat
bermeditasi, dan Cakra melambangkan nirvana atau nirwana, tempat
para dewa bersemayam. Stupa di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri. Di
Indonesia stupa sering merupakan bagian candi atau komplek candi tertentu,
seperti pada Candi Mendut, Borobudur, Jawi, dan Candi Muara Takus.
c.
Keraton
Keraton (istana)
merupakan bangunan tempat tinggal raja-raja. Peninggalan keraton-keraton pada
masa Hindu-Buddha, kini jarang ada yang utuh. Sebagian tinggal puing-puing dan
pondasi dasarnya saja, sebagian lagi malah tak berbekas. Istana-istana pada
masa Hindu-Buddha didirikan dengan pondasi dari batu atau batu bata. Biasanya
dindingnya terbuat dari kayu, sedangkan atapnya dari daun sirap. Karena itu,
kini yang tersisa hanyalah pondasipondasinya.
Salah satu keraton
peninggalan Hindu-Buddha yang sudah berupa puing adalah Keraton Boko. Keraton
ini terletak 2 km dari Candi Prambanan. Disebut Keraton Boko karena menurut
legenda di situlah letak Kerajaan Boko, yaitu asal Roro Jonggrang sebelum
dilamar oleh Bandung Bondowoso. Para ahli mengaitkan keraton ini dengan
raja-raja Mataram yang membuat Candi Prambanan. Bangunan ini tidak dapat
disebut candi karena di sekitarnya terdapat bekas benteng dan juga kanal atau
selokan.
Di sekitar utara Keraton
Boko terdapat sejumlah bekas-bekas candi yang semua telah rusak, di antaranya
Candi Ngaglik, Candi Watu Gudhig, Candi Geblog, Candi Bubrah, Candi Singa, dan
Candi Grimbiangan. Melihat corak relief dan arsitekturanya, candicandi ini
bercorak Siwa. Mungkin didirikan oleh raja Mataram Dinasti Sanjaya. Istana
lainnya adalah reruntuhan bekas keraton Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Masih
terlihat tempat kolam yang dulu digunakan sebagai tempat pemandian kerabat raja
(sekarang dinamai Candi Tikus).
5. Bidang Seni Rupa
Selain pada arsitektur,
pengaruh budaya Hindu-Buddha terlihat pada bidang seni rupa, seperti corak
relief, patung atau arca, dan makara pada candi atau keraton. Dalam hal motif
yang pada masa prasejarah berupa motif-motif budaya Vietnam purba, maka pada
masa Hindu-Buddha berkembang dan makin beragam.
a.
Patung
Arca (patung) dipahat
membentuk mahluk tertentu, biasanya manusia atau binatang dengan tujuan
mengabadikan tokoh yang dipatungkan. Patung dibuat oleh para seniman dan
pemahat handal yang termasuk kasta waisya. Biasanya patung ini disimpan
dalam candi sebagai penghormatan terhadap dewa dan raja yang disembah.
Adakalanya sebuah patung raja disimbolkan sebagai patung dewa atau raja yang
dipuja.
b. Relief
Relief merupakan seni pahat-timbul
pada dinding candi yang terbuat dari batu. Pada candi bercorak Hindu, relief
tersebut biasanya melukisan cerita atau kisah yang diambil dari kitab-kitab
suci maupun sastra (bias cerita utuh, bias pula hanya cuplikan), misalnya Mahabharata,
Ramayana, Sudamala, Kresnayana, Arjuna Wiwaha, berikut tokohtokoh Wayang
Punakawan yang tak terdapat di India. Sedangkan dalam candi Buddha, pada
reliefnya terpahat cerita seputar kisah hidup Siddharta Sang Buddha. Ada pula
relief yang menceritakan cerita legenda dari India dan cerita fabel.
Masing-masing daerah memiliki corak
relief yang khas. Relief pada candi di Jawa Tengah tak sama dengan relief di
candi di Jawa Timur. Di Jawa Tengah, karakteristik objek (manusia, hewan,
tumbuhan) pada relief-reliefnya bersifat natural; artinya Bentuk pahatan objek
tak jauh beda dengan bentuk asli dari objek tersebut (dua dimensi). Sedangkan,
karakteristik objek pada relief di Jawa Timur tampak lebih pipih seperti bentuk
wayang kulit (satu dimensi). Menurut para ahli, peralihan karakteristik para
relief ini menunjukkan peralihan dari zaman Hindu-Jawa ke zaman Jawa- Hindu.
Artinya: ketika kekuasaan beralih dari barat (Jawa Tengah) ke timur (Jawa
Timur), dengan sendirinya kebudayaan masyarakat Jawa makin berkembang, makin
percaya diri dengan corak seninya sendiri, tanpa harus terus menyontek budaya
India.
c.
Makara
Dalam mitologi
Hindu-Buddha, makara adalah perwujudan seekor binatang laut besar yang
diidentikkan dengan buaya, hiu, lumba-lumba, sebagai binatang luar biasa.
Binatang “jadi-jadian” ini menjadi salah satu motif yang lazim dalam arsitektur
India dan Jawa. Biasanya patung (bisa pula berbentuk relief) makara ini
dipajang pada pintu gerbang candi atau keraton. Pada Candi Borobudur,
contohnya, makaranya berbentuk binatang paduan: berkepala gajah, bertelinga
sapi, bertanduk domba, dengan singa berukuran kecil di dalam mulut makara
tersebut. Pahatan makara ini biasanya berfungsi sebagai mulut saluran air
mancur.
6. Bidang Kesusastraan
Dari India, masyarakat
Indonesia mengenal sistem tulis. Karyakarya tulis yang pertama ada di Indonesia
ditulis pada batu (prasasti) yang memuat peristiwa penting seputar raja atau
kerajaan tertentu. Pada masa berikutnya penulisan dilakukan di atas daun lontar
(Latin: Borassus flabellifer), batang bambu, lempengan perunggu, daun
nifah (Latin: Nifa frutican), dan kulit kayu, karena bahanbahan tersebut
lebih lunak daripada batu, lebih mudah dijinjing dan bisa dibawa ke mana-mana,
dan lebih tahan lama. Pada masa Islam, penulisan dilakukan di atas dluwang (terbuat
dari kulit kayu pohon mulberry), kertas, logam mulia, kayu, serta kain.
Penulisan pada bahan-bahan yang lebih lunak memungkinkan para penulis lebih
leluasa dalam bekarya. Awalnya mereka menulis karya-karya sastra dari India,
seperti Mahabharata dan Ramayana. Setelah menyalin dan
menerjemahkan karya-karya tersebut, mereka lalu mulai menggubah cerita yang
asli ke dalam sebuah kitab. Jadilah karya sastra yang indah dalam segi bahasa,
meski sifat-sifat kesejarahannya samar.
a.
Kitab
Kitab merupakan tulisan
berupa kisah, cerita, sejarah, dan kadang campuran antara legenda-mitos-sejarah
sekaligus. Pada masa Hindu-Buddha, kitab ditulis oleh para pujangga (sastrawan)
istana raja tertentu. Mereka menulis atas perintah raja masing-masing. Hidup
mereka ditanggung oleh negara dan mereka harus menaati apa saja yang harus
ditulis atas perintah raja. Oleh karena itu, bisa saja dua kitab yang ditulis
oleh dua penulis yang berbeda, membahas tokoh yang sama namun isinya bertolak
belakang.
Ada pula kitab yang
ditulis pada masa yang berbeda dengan apa yang dibahasnya. Bisa saja sebuah
kitab menulis peristiwa sejarah yang telah berlalu satu abad, misalnya. Dengan
demikian, peristiwa yang dilukiskannya bisa saja tak persis dengan apa yang
terjadi sesungguhnya. Sumber cerita mungkin saja diterima dari
orang atau raja yang menyimpan
maksud-maksud politis tertentu; jadi pendapatnya sepihak dan tidak ilmiah.
Kitab biasanya ditulis pada lembaran
daun rontal atau lontar yang diikatkan dengan semacam tali agar tidak
berceceran. Lontar adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh di daerah tropis seperti
Indonesia dan daerah subtropis. Tingginya kurang-lebih 30 meter dan bewarna
kuning dan tumbuh di hutan yang selalu tergenang air. Kayunya bisa dipakai
untuk bahan membuat rumah. Isi kitab biasanya merupakan rangkaian puisi dalam sejumlah
bait (pupuh) yang disebut kakawin. Selain cerita tentang
raja-raja, kitab bisa pula menceritakan mitologi, legenda, cerita rakyat (folklore),
undang-undang, hukum pidana-perdata, hingga aturan pernikahan. Di berbagai
daerah di Indonesia kitab disebut pula kidung, carita, kakawin, serat,
tambo. Bisa pula kitab merupakan sebuah gubahan dari cerita aslinya; dalam
arti cerita tersebut sudah mengalami perubahan (tambahan atau pengurangan),
baik dalam jumlah tokoh, alur, latar tempat. Mengenai waktu pun sering tak
dicantumkan alias diabaikan oleh sang penulis kitab meski yang ditulisnya
mengandung sifat kesejarahan.
Pembuatan kitab pertama kali
dirintis pada masa DinastiIsana pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Ia mempelopori
penggubahan epik Mahabharata dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno). Arjuna
Wiwaha, karya Mpu Kanwa ditulis pada masa pemerintahan Raja Airlangga abad
ke-11 M. Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh,
ditulis pada pemerintahan Raja Jayabaya dari Kediri pada abad ke-12.
b. Prasasti
(Batu Bertulis)
Prasasti merupakan tulisan yang
memuat informasi sejarah yang ditulis pada tugu baru tersendiri atau ditatah di
bagian tertentu pada candi. Bahan untuk membuat prasasti ini biasanya batu atau
logam. Informasi sejarah ini biasanya berupa peringatan terhadap usaha raja
dalam menyejahterakan rakyatnya dalam bentuk memberikan kurban sapi kepada kaum
brahmana atau pendirian taman atau penggalian kanal atau sungai. Bisa pula
prasasti berisi usaha raja yang berhasil menaklukkan kerajaan lain.
Mulanya, prasasti dan yupa ditulis
(zaman Tarumanagara dan Kutai), menggunakan huruf Pallawa dan bahasa
Sansekerta. Prasasti-prasasti yang merupakan peninggalan Tarumanagara di
antaranya: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti
Tugu, Prasasti Pasir Awi dan Muara Ciaruteun, serta Prasasti Lebak. Kebanyakan
prasasti-prasasti ini berbahasa Sansekerta dan berabjad Pallawa. Dengan
demikian, tak sembarang orang bisa membuat prasasti kecuali kaum agama dan bangsawan
yang pandai mambaca-menulis. Pada masa berikutnya, yaitu masa Mataram dan
seterusnya, huruf yang dipakai telah mengalami perkembangan yang disesuaikan
dengan bahasa setempat menjadi huruf Kawi atau Jawa Kuno. Sedangkan di
Sumatera, bahasa yang digunakan awalnya adalah Pali dan kemudian menjadi Melayu
Kuno.
c. Pertunjukan
Wayang
Budaya wayang diperkirakan telah
hidup pada masa prasejarah. Budaya mana pun ternyata memiliki seni pertunjukan
wayang masing-masing. Di Asia Tenggara karakter wayang memiliki banyak kesamaan, dalam bentuk, motif, hiasan, dan cara
dipegang oleh dalang. Pada mulanya, zaman prasejarah, pertunjukan wayang
merupakan seni rakyat dan ditujukan untuk menghormati roh leluhur. Kemudian
pada masa Hindu-Buddha, kesenian wayang mulai digemari oleh kaum bangsawan dan
raja. Jadilah, wayang pun menjadi seni keraton yang mengenal bahasa “halus”,
untuk membedakan dengan bahasa rakyat yang “kasar”.
Dalang adalah orang yang
memperagakan adegan wayang, membuat dialog percakapan antarwayang, menjadi
pencerita (narator), sekaligus memimpin orkestra (gamelan) yang dimainkan para
nayaga (pemain alat musik yang seluruhnya pria) dan dinyanyikan oleh sinden
(biasanya perempuan). Kisah-kisah yang dipentaskan biasanya diambil dari
kakawin Mahabharata atau Ramayana. Dengan demikian, alur dan
ceritanya pun banyak ditambah dan diperbaharui. Misalnya, adanya tokoh
punakawan seperti Semar.
7. Bidang Seni Tari
dan Musik
Seni tari telah ada di
Indonesia sejak masa prasejarah. Ketika itu tarian dilakukan sebagai
persembahan kepada roh nenekmoyang dalam upacara-upacara, seperti pada acara
panen. Jadi, bertari merupakan kegiatan keagamaan yang suci dan ritual. Musik
sebagai pengiring para penari berasal dari irama ritmis dari alat-alat perkusi
atau tetabuhan yang dipukul-pukul tanpa iringan alat bernada, kecuali suara
tenggorokan.
Ketika pengaruh
Hindu-Buddha masuk, seni tari masih dipentaskan dalam rangka keagamaan,
perkawinan, pengangkatan raja, dan lain-lain. Alat-alat bernada mulai dipakai,
seperti alat tiup, alat petik, alat gesek. Persembahan tarian dan musik di
kalangan raja dan bangsawan makin berkembang seiring perkenalan masyarakat
Indonesia dengan bangsa-bangsa lain. Hingga sekarang pengaruh seni musik India di
Indonesia masih dapat dinikmati, misalnya musik dangdut.
Dari uraian di atas,
kalian dapat memahami bahwa pertemuan antara dua bangsa yang berbeda akan
menghasilkan kebudayaan yang sinkretis, budaya campuran. Penduduk Indonesia
yang sejak dulu telah berkenalan dengan budaya luar, pada kenyataannya bias
menyerap budaya asing tersebut tanpa harus meninggalkan kebudayaan asli. Dengan
kearifan lokalnya masyarakat Indonesia dapat beradaptasi dengan budaya luar dan
menyaringnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi ekologis masing-masing.
Setelah berasimilasi, akhirnya budaya serapan itu bukanlah sesuatu yang asing
lagi, bahkan sudah dianggap budaya sendiri.
8. Bidang Pemerintahan
Bentuk kesatuan
masyarakat Indonesia pra Hindu adalah kesatuan masyarakat yang dipimpin oleh
seorang kepala yang dipilih berdasar prinsip Prints Inter Pares (yang utama di
antara sesama) Namun setelah pengaruh Hindu-Buddha masuk dan berkembang di
Indonesia, muncullah sistem pemerintahan Kerajaan yang dipimpin berdasarkan
sistem Dinasti (turun temurun).
Relief candi boro budhur
Candi Borobudur adalah sebuah mahakarya agung! Inilah
monumen Buddha terbesar di dunia yang telah diakui UNESCO. Ia merupakan puzzle
atau lego dari sekira 2 juta balok batu vulkanik raksasa yang dipahat sedemikian
rupa sehingga dapat saling mengunci (interlock) meski
tanpa menggunakan semen atau perekat apa pun.
Akan tetapi sebagaimana kita ketahui, Borobudur yang dibangun memakan waktu sekira 75 tahun ini bukanlah hanya sekedar tumpukan puzzle batu raksasa, meski teknik menyusun batu-batu ini pun adalah sebuah hal yang luar biasa. Borobudur juga menyimpan pesona keindahan karya seni bernilai tinggi bermuatan sejarah, budaya, dan agama. Kesepuluh pelataran Borobudur diyakini sebagai representasi filsafat mazhab Mahayana, yaitu menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Borobudur sudah serupa kitab Buddha yang dipahat di batuan dengan kualitas dan kuantitas pahatan relief dan jenis cerita yang mumpuni serta dilengkapi dengan arca dan stupa yang tak kalah mengagumkan. Candi Borobudur memiliki sekira 2672 panel relief yang konon apabila dibentangkan akan mencapai panjang 6 kilometer. UNESCO bahkan mengakuinya sebagai ansambel relief Buddha terbesar dan terlengkap di dunia. Setiap adegan dan kisah yang terpahat adalah sebuah mahakarya seni yang utuh dan luar biasa tinggi nilainya.
Ada teknik tersendiri untuk membaca relief pada dinding-dinding candi, yaitu dibaca ke arah sesuai arah jarum jam. Hal ini dikenal dengan istilah mapradaksina (bahasa Jawa Kuna) yang berasal dari bahasa Sansekerta Daksina yang berarti timur. Awal cerita akan dimulai dan berkahir di pintu gerbang sisi Timur di setiap tingkatnya. Borobudur memiliki tangga naik di empat penjuru mata angin tapi diperkirakan tangga naik utama adalah di sebelah Timur.
Relief pada Borobudur terpahat di beberapa tingkatan Borobudur. Relief-relief tersebut menggambarkan adegan yang diambil dari beberapa sutra, yaitu cerita Karmawibhanga, Jatakamala, Awadana, Gandawyuha dan Bhadracari.
Karmawibhangga adalah relief yang menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat (hukum karma). Di zona Kamadhatu, beberapa relief-relief Karmawibhangga menggambarkan hawa nafsu manusia, seperti perampokan, pembunuhan, penyiksaan, dan penistaan. Tidak hanya menggambarkan perbuatan jahat, Relief Karmawibhanga yang dipahat di atas 160 panil juga menggambarkan ajaran sebab akibat perbuatan baik.
Setiap panil bukanlah cerita naratif (berseri) dan berisi kisah-kisah tertentu yang di antaranya menggambarkan perilaku masyarakat Jawa Kuna masa itu, antara lain perilaku keagamaan, mata pencaharian, struktur sosial, tata busana, peralatan hidup, jenis-jenis flora dan fauna, dan sebagainya. Secara keseluruhan itu menggambarkan siklus hidup manusia, yaitu: lahir - hidup - mati (samsara).
Kamadhatu adalah gambaran dunia yang dihuni oleh kebanyakan orang, atau dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Karenanya zona ini berada di tingkat paling bawah Borobudur dan kini tertutup oleh pondasi penyokong bangunan sehingga tidak terlihat (kecuali pada sisi Selatan terbuka sedikit). Ada dugaan bahwa tertutupnya zona ini dikarenakan untuk memperkuat struktur atau pondasi bangunan. Akan tetapi, dugaan lain menyebutkan bahwa hal tersebut adalah untuk menutupi konten-konten cabul dari relief tersebut. Untuk melihat relief pada zona ini, Anda dapat mengunjungi Museum Karmawibhangga yang memajang foto-foto di Kamadhatu yang sengaja diambil agar tetap dapat dinikmati pengunjung.
Lalitawistara adalah relief yang menggambarkan riwayat sang Buddha dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita hingga kisah ajaran pertama yang beliau lakukan di Taman Rusa yang berada di dekat Kota Banaras. Relief Lalitawistara berjumlah 120 panil namun tidak secara lengkap menggambarkan kisah sang Buddha.
Lalitawistara adalah rangkaian relief cerita yang terpahat apik pada dinding candi di lorong 1 tingkat 2. Secara garis besar, Lalitawistara menggambarkan kehidupan Buddha Gautama saat lahir hingga keluar dari istana dan mendapat pencerahan di bawah pohon bodhi.
Jataka dan Awadana adalah relief tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Terpahat di tingkat kedua candi (lorong 1), relief ini bercerita tentang kebaikan sang Buddha dan pengorbanan diri yang ia lakukan dalam berbagai bentuk reinkarnasinya, baik sebagai manusia atau binatang. Perbuatan baik inilah yang membedakannya dengan makhluk lain. Apalagi berbuat baik adalah tahapan persiapan dalam usaha menuju tingkat Buddha yang lebih tinggi.
Awadana adalah juga berisi cerita Jataka namun tokoh ceritanya bukan Buddha melainkan pangeran Sudhanakumara. Cerita pada relief Awadana dihimpun dalam Kitab Diwyawadana (perbuatan mulia kedewaan) dan Kitab Awadanasataka (seratus cerita Awadana).
Gandawyuha adalah deretan relief yang terpahat rapi di dinding Borobudur sejumlah 460 panil yang terpahat di dinding serta pagar langkan. Pahatan relief ini tersebar di tingkatan candi yang berbeda-beda.
Berkisah tentang Sudhana, putera seorang saudagar kaya yang berkelana dalam usahanya mencari pengetahuan tertinggi atau kebenaran sejati. Penggambarannya pada panil-panil didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha. Sementara itu, untuk bagian penutupnya, kisah relief berdasarkan cerita kitab lain, yaitu Bhadracari. Kisah ini adalah tentang sumpah Sudhana untuk menjadikan Bodhisattwa Samantabhadra sebagai panutan hidupnya.
Apabila Anda perhatikan mulai dari lantai kelima hingga ketujuh tidak tampak relief pada dindingnya. Tingkatan yang melambangkan alam atas tersebut dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Pada tingkatan ini, manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa namun belum mencapai nirwana. Pada Arupadhatu yang terlihat adalah stupa-stupa terawang yang di dalamnya terdapat patung Buddha.
Di tingkatan tertinggi dari Candi Borobudur yang memiliki total 10 tingkatan atau pelataran ini terdapat sebuah stupa yang terbesar dan tertinggi. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Unfinished Buddha yang kini di simpan di Museum Karmawibhangga.
Berdenah bujur sangkar dengan keseluruhan ukuran 123 x 123 meter, Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Borobudur memiliki lorong-lorong panjang berupa jalan sempit, diperkirakan sebagai tempat bagi umat Buddha melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur memiliki enam pelataran berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar, dan sebuah pelataran puncak tempat stupa utama berada. Struktur dasarnya berupa punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia. Karena keunikan, keindahan, nilai historis, dan kualitas karya seni yang bernilai tinggi yang termanifestasikan di Borobudur, candi Buddha ini sudah tentu layak menyandang gelar sebagai salah satu mahakarya seni tingkat tinggi dari peradaban Nusantara.
Akan tetapi sebagaimana kita ketahui, Borobudur yang dibangun memakan waktu sekira 75 tahun ini bukanlah hanya sekedar tumpukan puzzle batu raksasa, meski teknik menyusun batu-batu ini pun adalah sebuah hal yang luar biasa. Borobudur juga menyimpan pesona keindahan karya seni bernilai tinggi bermuatan sejarah, budaya, dan agama. Kesepuluh pelataran Borobudur diyakini sebagai representasi filsafat mazhab Mahayana, yaitu menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Borobudur sudah serupa kitab Buddha yang dipahat di batuan dengan kualitas dan kuantitas pahatan relief dan jenis cerita yang mumpuni serta dilengkapi dengan arca dan stupa yang tak kalah mengagumkan. Candi Borobudur memiliki sekira 2672 panel relief yang konon apabila dibentangkan akan mencapai panjang 6 kilometer. UNESCO bahkan mengakuinya sebagai ansambel relief Buddha terbesar dan terlengkap di dunia. Setiap adegan dan kisah yang terpahat adalah sebuah mahakarya seni yang utuh dan luar biasa tinggi nilainya.
Ada teknik tersendiri untuk membaca relief pada dinding-dinding candi, yaitu dibaca ke arah sesuai arah jarum jam. Hal ini dikenal dengan istilah mapradaksina (bahasa Jawa Kuna) yang berasal dari bahasa Sansekerta Daksina yang berarti timur. Awal cerita akan dimulai dan berkahir di pintu gerbang sisi Timur di setiap tingkatnya. Borobudur memiliki tangga naik di empat penjuru mata angin tapi diperkirakan tangga naik utama adalah di sebelah Timur.
Relief pada Borobudur terpahat di beberapa tingkatan Borobudur. Relief-relief tersebut menggambarkan adegan yang diambil dari beberapa sutra, yaitu cerita Karmawibhanga, Jatakamala, Awadana, Gandawyuha dan Bhadracari.
Karmawibhangga adalah relief yang menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat (hukum karma). Di zona Kamadhatu, beberapa relief-relief Karmawibhangga menggambarkan hawa nafsu manusia, seperti perampokan, pembunuhan, penyiksaan, dan penistaan. Tidak hanya menggambarkan perbuatan jahat, Relief Karmawibhanga yang dipahat di atas 160 panil juga menggambarkan ajaran sebab akibat perbuatan baik.
Setiap panil bukanlah cerita naratif (berseri) dan berisi kisah-kisah tertentu yang di antaranya menggambarkan perilaku masyarakat Jawa Kuna masa itu, antara lain perilaku keagamaan, mata pencaharian, struktur sosial, tata busana, peralatan hidup, jenis-jenis flora dan fauna, dan sebagainya. Secara keseluruhan itu menggambarkan siklus hidup manusia, yaitu: lahir - hidup - mati (samsara).
Kamadhatu adalah gambaran dunia yang dihuni oleh kebanyakan orang, atau dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Karenanya zona ini berada di tingkat paling bawah Borobudur dan kini tertutup oleh pondasi penyokong bangunan sehingga tidak terlihat (kecuali pada sisi Selatan terbuka sedikit). Ada dugaan bahwa tertutupnya zona ini dikarenakan untuk memperkuat struktur atau pondasi bangunan. Akan tetapi, dugaan lain menyebutkan bahwa hal tersebut adalah untuk menutupi konten-konten cabul dari relief tersebut. Untuk melihat relief pada zona ini, Anda dapat mengunjungi Museum Karmawibhangga yang memajang foto-foto di Kamadhatu yang sengaja diambil agar tetap dapat dinikmati pengunjung.
Lalitawistara adalah relief yang menggambarkan riwayat sang Buddha dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita hingga kisah ajaran pertama yang beliau lakukan di Taman Rusa yang berada di dekat Kota Banaras. Relief Lalitawistara berjumlah 120 panil namun tidak secara lengkap menggambarkan kisah sang Buddha.
Lalitawistara adalah rangkaian relief cerita yang terpahat apik pada dinding candi di lorong 1 tingkat 2. Secara garis besar, Lalitawistara menggambarkan kehidupan Buddha Gautama saat lahir hingga keluar dari istana dan mendapat pencerahan di bawah pohon bodhi.
Jataka dan Awadana adalah relief tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Terpahat di tingkat kedua candi (lorong 1), relief ini bercerita tentang kebaikan sang Buddha dan pengorbanan diri yang ia lakukan dalam berbagai bentuk reinkarnasinya, baik sebagai manusia atau binatang. Perbuatan baik inilah yang membedakannya dengan makhluk lain. Apalagi berbuat baik adalah tahapan persiapan dalam usaha menuju tingkat Buddha yang lebih tinggi.
Awadana adalah juga berisi cerita Jataka namun tokoh ceritanya bukan Buddha melainkan pangeran Sudhanakumara. Cerita pada relief Awadana dihimpun dalam Kitab Diwyawadana (perbuatan mulia kedewaan) dan Kitab Awadanasataka (seratus cerita Awadana).
Gandawyuha adalah deretan relief yang terpahat rapi di dinding Borobudur sejumlah 460 panil yang terpahat di dinding serta pagar langkan. Pahatan relief ini tersebar di tingkatan candi yang berbeda-beda.
Berkisah tentang Sudhana, putera seorang saudagar kaya yang berkelana dalam usahanya mencari pengetahuan tertinggi atau kebenaran sejati. Penggambarannya pada panil-panil didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha. Sementara itu, untuk bagian penutupnya, kisah relief berdasarkan cerita kitab lain, yaitu Bhadracari. Kisah ini adalah tentang sumpah Sudhana untuk menjadikan Bodhisattwa Samantabhadra sebagai panutan hidupnya.
Apabila Anda perhatikan mulai dari lantai kelima hingga ketujuh tidak tampak relief pada dindingnya. Tingkatan yang melambangkan alam atas tersebut dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Pada tingkatan ini, manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa namun belum mencapai nirwana. Pada Arupadhatu yang terlihat adalah stupa-stupa terawang yang di dalamnya terdapat patung Buddha.
Di tingkatan tertinggi dari Candi Borobudur yang memiliki total 10 tingkatan atau pelataran ini terdapat sebuah stupa yang terbesar dan tertinggi. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Unfinished Buddha yang kini di simpan di Museum Karmawibhangga.
Berdenah bujur sangkar dengan keseluruhan ukuran 123 x 123 meter, Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Borobudur memiliki lorong-lorong panjang berupa jalan sempit, diperkirakan sebagai tempat bagi umat Buddha melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur memiliki enam pelataran berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar, dan sebuah pelataran puncak tempat stupa utama berada. Struktur dasarnya berupa punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia. Karena keunikan, keindahan, nilai historis, dan kualitas karya seni yang bernilai tinggi yang termanifestasikan di Borobudur, candi Buddha ini sudah tentu layak menyandang gelar sebagai salah satu mahakarya seni tingkat tinggi dari peradaban Nusantara.
1. Candi Borobudur
Ciri-Ciri nya :
Candi Borobudur berbentuk punden
berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat
berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu
tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.
Borobudur adalah nama sebuah candi
Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah
kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut
Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana
sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
2. Candi Mendut kota malang
Ciri-Ciri nya :
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.
Candi Mendut adalah sebuah candi
berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di desa Mendut, kecamatan
Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer dari candi
Borobudur.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama veluvana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama veluvana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
3. Candi Ngawen kota magelang
Ciri-Ciri nya :
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
Candi Ngawen adalah candi Buddha yang
berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa
Ngawen, kecamatan Muntilan, Magelang. Menurut perkiraan, candi ini dibangun
oleh wangsa Syailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno.
Keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah yang tersebut dalam
prasasti Karang Tengah pada tahun 824 M.
4. Candi Lumbung
Candi Lumbung adalah candi Buddha
yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di sebelah
candi Bubrah. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman
Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini merupakan kumpulan dari satu candi utama
(bertema bangunan candi Buddha)
Ciri-cirinya
:
Dikelilingi oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relatif cukup bagus.
Dikelilingi oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relatif cukup bagus.
5. Candi Banyunibo
Candi Banyunibo yang berarti air
jatuh-menetes (dalam bahasa Jawa) adalah candi Buddha yang berada tidak jauh
dari Candi Ratu Boko, yaitu di bagian sebelah timur dari kota Yogyakarta ke
arah kota Wonosari. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 pada saat zaman
Kerajaan Mataram Kuno. Pada bagian atas candi ini terdapat sebuah stupa yang
merupakan ciri khas agama Buddha.
Ciri-cirinya:
Keadaan dari candi ini terlihat masih
cukup kokoh dan utuh dengan ukiran relief kala-makara dan bentuk relief lainnya
yang masih nampak sangat jelas. Candi yang mempunyai bagian ruangan tengah ini
pertama kali ditemukan dan diperbaiki kembali pada tahun 1940-an, dan sekarang
berada di tengah wilayah persawahan.
6. Kompleks Percandian
Batujaya
Kompleks Percandian Batujaya adalah
sebuah suatu kompleks sisa-sisa percandian Buddha kuna yang terletak di
Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa
Barat. Situs ini disebut percandian karena terdiri dari sekumpulan candi yang
tersebar di beberapa titik.
Cirri-cirinya:
Dari segi kualitas, candi di situs Batujaya tidaklah utuh secara umum sebagaimana layaknya sebagian besar bangunan candi. Bangunan-bangunan candi tersebut ditemukan hanya di bagian kaki atau dasar bangunan, kecuali sisa bangunan di situs Candi Blandongan.
Candi-candi yang sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit (juga disebut sebagai unur dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa). Ternyata candi-candi ini tidak memperlihatkan ukuran atau ketinggian bangunan yang sama.
Dari segi kualitas, candi di situs Batujaya tidaklah utuh secara umum sebagaimana layaknya sebagian besar bangunan candi. Bangunan-bangunan candi tersebut ditemukan hanya di bagian kaki atau dasar bangunan, kecuali sisa bangunan di situs Candi Blandongan.
Candi-candi yang sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit (juga disebut sebagai unur dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa). Ternyata candi-candi ini tidak memperlihatkan ukuran atau ketinggian bangunan yang sama.
7. Candi Muara Takus
Candi Muara Takus adalah sebuah candi
Buddha yang terletak di Riau, Indonesia. Kompleks candi ini tepatnya terletak
di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar atau jaraknya kurang
lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru, Riau. Jarak antara kompleks candi ini
dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan tak jauh dari pinggir
Sungai Kampar Kanan.
Ciri-cirinya:
Kompleks candi ini dikelilingi tembok
berukuran 74 x 74 meter diluar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran
1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir sungai
Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua, Candi
Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari
batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk
bangunan ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir
kompleks candi. Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap
sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke
tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini
walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan candi
itu secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.
8. Candi Sumberawan
Candi Sumberawan hanya berupa sebuah stupa,
berlokasi di Kecamatan Singosari, Malang. Dengan jarak sekitar 6 km dari Candi
Singosari. Candi ini Merupakan peninggalan Kerajaan Singhasari dan digunakan
oleh umat Buddha pada masa itu.
Candi Sumberawan terletak di desa
Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, +/- 6 Km, di sebelah Barat
Laut Candi Singosari, candi ini dibuat dari batu andesit dengan ukuran P. 6,25m
L. 6,25m T. 5,23m dibangun pada ketinggian 650 mDPL, di kaki bukit Gunung
Arjuna. Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena terletak di dekat
sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang memberi nama Candi
Rawan.
Cirri-cirinya:
Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang.
Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang.
9. Candi Brahu
Candi Brahu dibangun dengan gaya dan
kultur Buddha, didirikan abad 15 Masehi. Pendapat lain, candi ini berusia jauh
lebih tua ketimbang candi lain di sekitar Trowulan. Menurut buku Bagus Arwana,
kata Brahu berasal dari kata Wanaru atau Warahu. Nama ini didapat dari sebutan
sebuah bangunan suci seperti disebutkan dalam prasasti Alasantan, yang
ditemukan tak jauh dari candi brahu. Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok
pada tahun 861 Saka atau 9 September 939,
Cirri-cirinya:
Candi Brahu merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja Brawijaya. Anehnya dalam penelitian, tak ada satu pakarpun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Lebih lebih setelah ada pemugaran candi yang dilakukan pada tahun 1990 hingga 1995.
Candi Brahu merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja Brawijaya. Anehnya dalam penelitian, tak ada satu pakarpun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Lebih lebih setelah ada pemugaran candi yang dilakukan pada tahun 1990 hingga 1995.
10. Candi Sewu
Candi Sewu adalah candi Buddha yang
berada di dalam kompleks candi Prambanan (hanya beberapa ratus meter dari candi
utama Roro Jonggrang). Candi Sewu (seribu) ini diperkirakan dibangun
pada saat kerajaan Mataram Kuno oleh raja Rakai Panangkaran (746 – 784). Candi
Sewu merupakan komplek candi Buddha terbesar setelah candi Borobudur, sementara
candi Roro Jonggrang merupakan candi bercorak Hindu.
Menurut legenda rakyat setempat,
seluruh candi ini berjumlah 999 dan dibuat oleh seorang tokoh sakti bernama,
Bandung Bondowoso hanya dalam waktu satu malam saja, sebagai prasyarat untuk
bisa memperistri dewi Roro Jonggrang. Namun keinginannya itu gagal karena pada
saat fajar menyingsing, jumlahnya masih kurang satu.