Rabu, 16 Oktober 2013

PENGARUH HINDU BUDHA TERHADAP INDONESIA




Kebudayaan merupakan wujud dari peradaban manusia, sebagai hasil akal-budi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik primer, sekunder, atau tersier. Wujud kebudayaan ini cukup beragam, mencakup wilayah bahasa, adat-istiadat, seni (rupa, sastra, arsitektur), ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dan setiap kebudayaan yang lebih maju pasti mendominasi kebudayaan yang berada di bawahnya. Begitu pula kebudayaan India yang dengan mudah diterima masyarakat Indonesia.

Pengaruh Hindu dan Buddha terhadap kehidupan masyarakat Indonesia dalam bidang kebudayaan, berbarengan dengan datangnya pengaruh dalam bidang agama itu sendiri. Pengaruh tersebut dapat berwujud fisik dan nonfisik. Hasil kebudayaan pada masa Hindu-Buddha di Indonesia yang berwujud fisik di antaranya: arca atau patung, candi (kuil), makara, istana, kitab, stupa, tugu yupa, prasasti, lempengan tembaga, senjata perang, dan lain-lain. Sedangkan peninggalan kebudayaan yang bersifat nonfisik di antaranya: bahasa, upacara keagamaan, seni tari, dan karya sastra.

Wilayah India yang cukup banyak memberikan pengaruhnya terhadap Indonesia adalah India Selatan, kawasan yang didiami bangsa Dravida. Ini terbukti dari penemuan candi-candi di India yang hampir menyerupai candi-candi yang ada di Indonesia. Begitu pula jenis aksara yang banyak ditemui pada prasasti di Indonesia, adalah jenis huruf Pallawa yang digunakan oleh orangorang India selatan.

Meskipun budaya India berpengaruh besar, akan tetapi masyarakat Indonesia tidak serta-merta meniru begitu saja kebudayaan tersebut. Dengan kearifan lokal masyarakat Indonesia, budaya dari India diterima melalui proses penyaringan (filtrasi) yang natural. Bila dirasakan cocok maka elemen budaya tersebut akan diambil dan dipadukan dengan budaya setempat, dan bila tak cocok maka budaya itu dilepaskan. Proses akulturasi budaya ini dapat dilihat pada model arsitektur, misalnya, punden berundak (budaya asli Indonesia) pada Candi Sukuh di Jawa Tengah; atau pada dindingdinding

Candi Prambanan yang memuat relief tentang kisah pewayangan yang memuat tokoh Punakawan; yang dalam relief manapun di India takkan ditemui.

1. Praktik Peribadatan
Pengaruh Hindu-Buddha terhadap aktifitas keagamaan di Indonesia tercermin hingga kini. Kalian dapat merasakannya kini di Bali, pulau yang mayoritas penduduknya penganut Hindu. Kehidupan sosial, seni, dan budaya mereka cukup kental dipengaruhi tradisi Hindu. Jenazah seseorang yang telah meninggal biasanya dibakar, lalu abunya ditaburkan ke laut agar “bersatu” kembali dengan alam. Upacara yang disebut ngaben ini memang tidak diterapkan kepada semua umat Bali-Hindu, hanya orang yang mampu secara ekonomi yang melakukan ritual pembakaran mayat (biasa golongan brahmana, bangsawan, dan pedagang kaya).

Selain Bali, masyarakat di kaki Bukit Tengger di Malang, Jawa Timur, pun masih menjalani keyakinan Hindu. Meski sebagian besar masyarakat Indonesia kini bukan penganut Hindu dan Buddha, namun dalam menjalankan praktik keagamaannya masih terdapat unsur-unsur Hindu-Buddha. Bahkan ketika agama Islam dan Kristen makin menguat, pengaruh tersebut tak hilang malah terjaga dan lestari. Beberapa wilayah yang sebelum kedatangan Islam dikuasi oleh Hindu secara kuat, biasanya tidak mampu dihilangkan begitu saja aspek-aspek dari agama sebelumnya tersebut, melainkan malah agama barulah (Islam dan Kristen) mengadopsi beberapa unsur kepercayaan sebelumnya. Gejala ini terlihat dari munculnya beberapa ritual yang merupakan perpaduan antara Hindu-Buddha, Islam, bahkan animisme-dinamisme. Contohnya: ritual Gerebeg Maulud yang setiap tahun diadakan di Yogyakarta, kepercayaan terhadap kuburan yang mampu memberikan rejeki dan pertolongan, kepercayaan terhadap roh-roh, kekuatan alam dan benda keramat seperti keris, patung, cincin, atau gunung.

Ketika Islam masuk ke Indonesia, kebudayaan Hindu- Buddha telah cukup kuat dan mustahil dapat dihilangkan. Yang terjadi kemudian adalah akulturasi antara kedua agama tersebut. Kita bisa melihatnya pada acara kelahiran bayi, tahlilan bagi orang meninggal, dan nadran (ziarah). Acara-acara berperiode seperti tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, tujuh bulanan merupakan praktik kepercayaan yang tak terdapat dalam ajaran Islam atau Kristen.

Perbedaan antara unsur-unsur agama yang berbeda dan bahkan cenderung bertolak belakang itu, bukanlah halangan bagi masyarakat Indonesia untuk menerima dan menyerap ajaran agama baru. Melalui kearifan lokal (local genius) masyarakat Indonesia, agama yang asalnya dari luar (Hindu, Buddha, Islam, Kristen) pada akhirnya diterima sebagai sesuatu yang tidak “asing” lagi. Bila unsur agama tersebut dirasakan cocok dan tak menimbulkan pertentangan dalam masyarakat, maka ia akan disaring terlebih dahulu lalu diambil untuk kemudian dipadukan dengan budaya yang lama; dan bila tak cocok maka unsur tersebut akan dibuang. Dengan demikian, yang lahir adalah agama sinkretisme, yaitu perpaduan antardua unsur agama dan kebudayaan yang berbeda sehingga menghasilkan praktik agama dan kebudayaan baru tanpa mempertentangkan perbedaan tersebut, malah mempertemukan persamaan antarkeduanya. Jelaslah, dari dulu bangsa Indonesia telah mengenal keragaman agama dan budaya (pluralisme) tanpa harus bertengkar.

2. Sistem Pendidikan

Sriwijaya merupakan kerajaan pertama di Indonesia yang telah menaruh perhatian terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan Buddha. Aktifitas pendidikan ini diadakan melalui kerjasama dengan kerajaan-kerajaan di India. Hubungan bilateral dalam bidang pendidikan ini dibuktikan melalui Prasasti Nalanda dan catatan I-Tsing.

Berdasarkan keterangan Prasasti Nalanda yang berada di Nalanda, India Selatan, terdapat banyak pelajar dari Sriwijaya yang memperdalam ilmu pengetahuan. Catatan I-Tsing menyebutkan, Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha yang cocok sebagai tempat para calon rahib untuk menyiapkan diri belajar Buddha dan tata bahasa Sansekerta sebelum berangkat ke India. Di Sriwijaya, menurut I-Tsing, terdapat guru Buddha yang terkenal, yaitu Sakyakerti yang menulis buku undang-undang berjudul Hastadandasastra. Buku tersebut oleh I-Tsing dialihbahasakan ke dalam bahasa Cina.

Selain Sakyakerti, terdapat pula rahib Buddha ternama di Sriwijaya, yaitu Wajraboddhi yang berasal dari India Selatan, dan Dharmakerti. Menurut seorang penjelajah Buddha dari Tibet bernama Atica, Dharmakerti memiliki tiga orang murid yang terpandang, yaitu Canti, Sri Janamitra, dan Ratnakirti. Atica sempat beberapa lama tinggal di Sriwijaya karena ingin menuntut ilmu Buddha. Ketika itu, agama Buddha klasik hampir lenyap disebabkan aliran Tantra dan agama Islam mulai berkembang di India, sehingga ia memilih pergi ke Sriwijaya untuk belajar agama.

Pada masa berikutnya, hampir di setiap kerajaan terdapat asrama-asrama (mandala) sebagai tempat untuk belajar ilmu keagamaan. Asrama ini biasanya terletak di sekitar komplek candi. Selain belajar ilmu agama, para calon rahib dan biksu belajar pula filsafat, ketatanegaraan, dan kebatinan. Bahkan istilah guru yang digunakan oleh masyarakat Indonesia sekarang berasal dari bahasa Sansekerta, yang artinya “kaum cendikia”.

3. Bahasa dan Sistem Aksara

Bahasa merupakan unsur budaya yang pertama kali diperkenalkan bangsa India kepada masyarakat Indonesia. Bahasalah yang digunakan untuk menjalin komunikasi dalam proses perdagangan antarkedua pihak, tentunya masih dalam taraf lisan. Bahasa yang dipraktikkan pun adalah bahwa Pali, bukan Sansekerta karena kaum pedagang mustahil menggunakan bahasa kitab tersebut.

Bahasa Pali atau Pallawa merupakan aksara turunan dari aksara Brahmi yang dipakai di India selatan dan mengalami kejayaan pada masa Dinasti Pallawa (sekitar Madras, Teluk Benggali) abad ke-4 dan 5 Masehi. Aksara Brahmi juga menurunkan aksara-aksara lain di wilayah India, yaitu Gupta, Siddhamatrka, Pranagari, dan Dewanagari. Aksara Pallawa sendiri kemudian menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dan tertulis pada prasasti-prasasti berbahasa Melayu Kuno zaman Sriwijaya. Istilah pallawa pertama kali dipakai oleh arkeolog Belanda, N.J. Krom; sarjana lain menyebutnya aksara grantha.

Praktik bahasa Sansekerta pertama kali di Indonesia bisa dilacak pada yupa-yupa peninggalan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Huruf yang dipakai adalah Pallawa. Dikatakan bahwa di kerajaan tersebut terdapat seorang raja bernama Kudungga, memiliki anak yang bernama Aswawarman, dan juga memiliki cucu Mulawarman. Menurut para ahli bahasa, Kudungga dipastikan merupakan nama asli Indonesia, sedangkan Aswawarman dan Mulawarman sudah menggunakan bahasa India. Penggantian nama tersebut biasanya ditandai dengan upacara keagamaan.

Pengaruh agama Hindu dalam aspek bahasa akhirnya menjadi formal dengan munculnya bahasa Jawa dan Melayu Kuno serta bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia yang banyak sekali menyerap bahasa Sansekerta. Beberapa karya sastra Jawa ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dengan cara mengonversikan atau menambahkan (menggubah) karya sastra yang dibuat di India. Selain Sansekerta, bahasa Pali, Tamil, dan Urdu atau Hindustani (digunakan di Pakistan dan sebagain India) pun memperkayai kosakata penduduk Indonesia. Namun, pada perkembangannya Sansekertalah bahasa yang paling berpengaruh dan dipakai hingga kini oleh orang Indonesia. Bahasa Sansekerta merupakan bahasa tulisan. Bahasa ini tertulis dalam prasasti, yupa, kitab suci, kitab undang-undang (hukum), karya sastra. Maka dari kata-katanya dapat lebih abadi dan dipertahankan.

Pengaruh tersebut kemudian dilanjutkan dengan proses penyerapan bunyi. Kadang kita tidak menyadari bahwa bahasa yang kita gunakan tersebut merupakan serapan dari bahasa Sansakerta. Perubahan bunyi pada serapan ini terjadi karena logat dan dialek setiap suku-bangsa berbeda. Makna awalnya pun sebagian telah mengalami perubahan: ada yang meluas dan ada yang menyempit. Namun, adapula beberapa kata yang maknanya belum bergeser, contohnya: tirta berarti air; eka, dwi, tri berarti satu, dua, tiga; kala berarti waktu atau bisa juga bencana.

Berikut ini kata-kata Indonesia serapan dari kata-kata Sansekerta:
(a) sayembara, dari silambara
(b) bentara, dari avantara
(c) harta, dari artha
(d) istimewa, dari astam eva
(e) durhaka, dari drohaka
(f) gembala, dari gopala
(g) karena, dari karana
(h) bahagia, dari bhagya
(i) manusia, dari manusya
10. senantiasa, dari nityasa

Mengenai perkembangan aksara, di Indonesia terdapat beberapa jenis aksara yang merupakan turunan dari aksara Pallawa. Di Jawa ada aksara Kawi, aksara Kawi ini pada perkembangan selanjutnya menurunkan aksara Hanacaraka atau Ajisaka yang digunakan untuk bahasa Jawa, Sunda, dan Bali. Adapula prasasti zaman Mataram di Jawa Tengah bagian selatan yang menggunakan aksara Pranagari yang umurnya lebih tua dari aksara Dewanagari.

Sementara itu, di wilayah Sumatera Utara (dengan dialek Toba, Dairi, Karo, Mandailing, dan Simalungun) ada aksara Batak, sedangkan di daerah Kerinci, Lampung, Pasemah, Serawai, dan Rejang terdapat aksara Rencong. Sementara itu, di daerah Sulawesi bagian selatan ada aksara Bugis dan Makassar. Dari perkembangan aksara-aksara turunan Pallawa, kita dapat memperkirakan wilayah mana saja di Indonesia yang pengaruh budaya Indianya lebih kental, yakni Jawa, Sumatera, dan sebagian Sulawesi. Sedangkan daerah-daerah lainnya di Indonesia tak begitu dipengaruhi budaya
India, bahkan ada daerah yang sama sekali tak tersentuh budaya Hindu-Buddhanya.

Mengenai aksara Hanacaraka, terdapat sebuah legenda yang berkaitan dengan nama Ajisaka. Ajisaka merupakan cerita rakyat yang berkembang secara lisan, terutama hidup di masyarakat Jawa dan Bali. Tokoh, Ajisaka, berkaitan dengan bangsa Saka dari India barat laut. Sebagian masyarakat Jawa percaya bahwa Ajisaka dahulu pernah hidup di Jawa dan berasal dari India. Mereka juga percaya bahwa Ajisakalah yang menciptakan aksara Jawa dan kalender Saka.

4. Seni Arsitektur dan Teknologi

Sebelum unsur-unsur Hindu-Buddha masuk, masyarakat Indonesia telah mengenal teknologi membuat bangunan dari batu pada masa Megalitikum. Mereka telah pandai membangun menhir, sarkofagus, peti (kuburan) kubur, patung sederhana, dan benda benda dari batu lainnya. Setelah berkenalan dengan seni arsitektur Hindu-Buddha, mereka kemudian mengadopsi teknologinya.

Jadilah candi, stupa, keraton, makara yang memiliki seni hias (relief) dan arsitekturnya yang lebih beraneka.

a. Candi

Candi berasal dari frase candika graha yang berarti kediaman Betari Durga. Durga ini disembah terutama oleh umat Buddha. Dalam dunia pewayangan di Indonesia, Durga merupakan istri Dewa Siwa yang dikutuk dari berwajah cantik menjadi raksasa. Yang pertama mendirikan candi di India diduga adalah umat Buddhis. Ini terlihat dari temuan candi tertua di sana yang dibangun pada abad ke-3 SM. Pada perkembangan berikutnya, candi pun didirikan oleh umat Hindu.

Awalnya, candi didirikan sebagai tempat penyimpanan abu hasil pembakaran jenazah raja. Karena itu, di candi yang disebut pripih sering ditemukan sebuah wadah penyimpanan abu jenazah. Di atas abu jenazah tersebut terpampang arca raja bersangkutan. Disimpan pula patung dewa tertentu, biasanya dewa ini dipuja oleh almarhum yang bersangkutan. Pada dinding-dinding candi biasanya terdapat deretan relief yang mengisahkan cerita-cerita Mahabharata atau Ramayana atau kisah sastra lainnya. Pada candi Buddhis biasanya terdapat relief seputar kehidupan Siddharta. Fungsi candi selanjutnya berkembang menjadi tempat sembahyang (berasal dari frase “sembah hyang”) untuk dewa-dewi.

Jawa adalah tempat yang paling banyak terdapat candi, disusul oleh Sumatera. Ini menandakan bahwa perkembangan agama dan kebudayaan Hindu-Buddha berlangsung lebih pesat di Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pusat-pusat pemerintahan pada masanya. Berdasarkan arsitektur dan tempat dibangunnya, candi-candi di Indonesia dapat dibagi atas: candi yang terletak di Jawa Tengah (bagian selatan dan utara), Jawa Timur, dan lain-lainnya seperti di Sumatera, Bali, dan Jawa Barat.

Bentuk candi-candi di Jawa Tengah di bagian selatan berbeda dengan yang ada di bagian utara. Namun demikian, secara umum (Soetarno, 2003) candi-candi yang ada di kedua wilayah tersebut memiliki kesamaan, yaitu:

(1) Bentuk bangunan tampak lebih gemuk, terbuat dari batu andesit.
(2) Atapnya berbentuk undak-undakan dan puncaknya berbentuk stupa atau ratna.
(3) Pada pintu dan relung terdapat hiasan bermotif makara.
(4) Reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya bercorak naturalis (dua dimensi).
(5) Letak candi utama terletak di tengah-tengah halaman komplek candi muka candi menghadap ke arah timur.


b. Stupa
Stupa merupakan tempat penyimpanan abu sang Buddha dan melambangkan perjalanan Sang Buddha menuju nirvana. Setelah wafat, jasad Buddha dikremasi, lalu abunya disimpan dalam delapan stupa terpisah di utara India. Pada masa kuno di India, stupa digunakan sebagai makam penyimpanan abu bangsawan atau tokoh tertentu. Stupa kemudian dijadikan lambang Buddhisme dan menunjukkan luas pengaruh Buddhisme di berbagai kawasan. Semasa pemerintahan Ashoka (abad ke-2 SM) di India dibangun banyak stupa untuk menandakan Buddha sebagai agama kerajaan. Di Asia Tenggara dan Timur, stupa juga didirikan sebagai pengakuan terhadap Buddhisme di wilayah bersangkutan. Stupa terdiri atas tiga bagian, yaitu andah, yanthra, dan cakra. Andah melambangkan dunia bawah, tempat manusia yang masih dikuasai hawa nafsu, Yanthra merupakan suatu benda untuk memusatkan pikiran saat bermeditasi, dan Cakra melambangkan nirvana atau nirwana, tempat para dewa bersemayam. Stupa di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri. Di Indonesia stupa sering merupakan bagian candi atau komplek candi tertentu, seperti pada Candi Mendut, Borobudur, Jawi, dan Candi Muara Takus.

c. Keraton
Keraton (istana) merupakan bangunan tempat tinggal raja-raja. Peninggalan keraton-keraton pada masa Hindu-Buddha, kini jarang ada yang utuh. Sebagian tinggal puing-puing dan pondasi dasarnya saja, sebagian lagi malah tak berbekas. Istana-istana pada masa Hindu-Buddha didirikan dengan pondasi dari batu atau batu bata. Biasanya dindingnya terbuat dari kayu, sedangkan atapnya dari daun sirap. Karena itu, kini yang tersisa hanyalah pondasipondasinya.

Salah satu keraton peninggalan Hindu-Buddha yang sudah berupa puing adalah Keraton Boko. Keraton ini terletak 2 km dari Candi Prambanan. Disebut Keraton Boko karena menurut legenda di situlah letak Kerajaan Boko, yaitu asal Roro Jonggrang sebelum dilamar oleh Bandung Bondowoso. Para ahli mengaitkan keraton ini dengan raja-raja Mataram yang membuat Candi Prambanan. Bangunan ini tidak dapat disebut candi karena di sekitarnya terdapat bekas benteng dan juga kanal atau selokan.

Di sekitar utara Keraton Boko terdapat sejumlah bekas-bekas candi yang semua telah rusak, di antaranya Candi Ngaglik, Candi Watu Gudhig, Candi Geblog, Candi Bubrah, Candi Singa, dan Candi Grimbiangan. Melihat corak relief dan arsitekturanya, candicandi ini bercorak Siwa. Mungkin didirikan oleh raja Mataram Dinasti Sanjaya. Istana lainnya adalah reruntuhan bekas keraton Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Masih terlihat tempat kolam yang dulu digunakan sebagai tempat pemandian kerabat raja (sekarang dinamai Candi Tikus).

5. Bidang Seni Rupa
Selain pada arsitektur, pengaruh budaya Hindu-Buddha terlihat pada bidang seni rupa, seperti corak relief, patung atau arca, dan makara pada candi atau keraton. Dalam hal motif yang pada masa prasejarah berupa motif-motif budaya Vietnam purba, maka pada masa Hindu-Buddha berkembang dan makin beragam.

a. Patung
Arca (patung) dipahat membentuk mahluk tertentu, biasanya manusia atau binatang dengan tujuan mengabadikan tokoh yang dipatungkan. Patung dibuat oleh para seniman dan pemahat handal yang termasuk kasta waisya. Biasanya patung ini disimpan dalam candi sebagai penghormatan terhadap dewa dan raja yang disembah. Adakalanya sebuah patung raja disimbolkan sebagai patung dewa atau raja yang dipuja.

b. Relief
Relief merupakan seni pahat-timbul pada dinding candi yang terbuat dari batu. Pada candi bercorak Hindu, relief tersebut biasanya melukisan cerita atau kisah yang diambil dari kitab-kitab suci maupun sastra (bias cerita utuh, bias pula hanya cuplikan), misalnya Mahabharata, Ramayana, Sudamala, Kresnayana, Arjuna Wiwaha, berikut tokohtokoh Wayang Punakawan yang tak terdapat di India. Sedangkan dalam candi Buddha, pada reliefnya terpahat cerita seputar kisah hidup Siddharta Sang Buddha. Ada pula relief yang menceritakan cerita legenda dari India dan cerita fabel.

Masing-masing daerah memiliki corak relief yang khas. Relief pada candi di Jawa Tengah tak sama dengan relief di candi di Jawa Timur. Di Jawa Tengah, karakteristik objek (manusia, hewan, tumbuhan) pada relief-reliefnya bersifat natural; artinya Bentuk pahatan objek tak jauh beda dengan bentuk asli dari objek tersebut (dua dimensi). Sedangkan, karakteristik objek pada relief di Jawa Timur tampak lebih pipih seperti bentuk wayang kulit (satu dimensi). Menurut para ahli, peralihan karakteristik para relief ini menunjukkan peralihan dari zaman Hindu-Jawa ke zaman Jawa- Hindu. Artinya: ketika kekuasaan beralih dari barat (Jawa Tengah) ke timur (Jawa Timur), dengan sendirinya kebudayaan masyarakat Jawa makin berkembang, makin percaya diri dengan corak seninya sendiri, tanpa harus terus menyontek budaya India.


c. Makara
Dalam mitologi Hindu-Buddha, makara adalah perwujudan seekor binatang laut besar  yang diidentikkan dengan buaya, hiu, lumba-lumba, sebagai binatang luar biasa. Binatang “jadi-jadian” ini menjadi salah satu motif yang lazim dalam arsitektur India dan Jawa. Biasanya patung (bisa pula berbentuk relief) makara ini dipajang pada pintu gerbang candi atau keraton. Pada Candi Borobudur, contohnya, makaranya berbentuk binatang paduan: berkepala gajah, bertelinga sapi, bertanduk domba, dengan singa berukuran kecil di dalam mulut makara tersebut. Pahatan makara ini biasanya berfungsi sebagai mulut saluran air mancur.

6. Bidang Kesusastraan
Dari India, masyarakat Indonesia mengenal sistem tulis. Karyakarya tulis yang pertama ada di Indonesia ditulis pada batu (prasasti) yang memuat peristiwa penting seputar raja atau kerajaan tertentu. Pada masa berikutnya penulisan dilakukan di atas daun lontar (Latin: Borassus flabellifer), batang bambu, lempengan perunggu, daun nifah (Latin: Nifa frutican), dan kulit kayu, karena bahanbahan tersebut lebih lunak daripada batu, lebih mudah dijinjing dan bisa dibawa ke mana-mana, dan lebih tahan lama. Pada masa Islam, penulisan dilakukan di atas dluwang (terbuat dari kulit kayu pohon mulberry), kertas, logam mulia, kayu, serta kain. Penulisan pada bahan-bahan yang lebih lunak memungkinkan para penulis lebih leluasa dalam bekarya. Awalnya mereka menulis karya-karya sastra dari India, seperti Mahabharata dan Ramayana. Setelah menyalin dan menerjemahkan karya-karya tersebut, mereka lalu mulai menggubah cerita yang asli ke dalam sebuah kitab. Jadilah karya sastra yang indah dalam segi bahasa, meski sifat-sifat kesejarahannya samar.

a. Kitab
Kitab merupakan tulisan berupa kisah, cerita, sejarah, dan kadang campuran antara legenda-mitos-sejarah sekaligus. Pada masa Hindu-Buddha, kitab ditulis oleh para pujangga (sastrawan) istana raja tertentu. Mereka menulis atas perintah raja masing-masing. Hidup mereka ditanggung oleh negara dan mereka harus menaati apa saja yang harus ditulis atas perintah raja. Oleh karena itu, bisa saja dua kitab yang ditulis oleh dua penulis yang berbeda, membahas tokoh yang sama namun isinya bertolak belakang.

Ada pula kitab yang ditulis pada masa yang berbeda dengan apa yang dibahasnya. Bisa saja sebuah kitab menulis peristiwa sejarah yang telah berlalu satu abad, misalnya. Dengan demikian, peristiwa yang dilukiskannya bisa saja tak persis dengan apa yang terjadi sesungguhnya. Sumber cerita mungkin saja diterima dari
orang atau raja yang menyimpan maksud-maksud politis tertentu; jadi pendapatnya sepihak dan tidak ilmiah.

Kitab biasanya ditulis pada lembaran daun rontal atau lontar yang diikatkan dengan semacam tali agar tidak berceceran. Lontar adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia dan daerah subtropis. Tingginya kurang-lebih 30 meter dan bewarna kuning dan tumbuh di hutan yang selalu tergenang air. Kayunya bisa dipakai untuk bahan membuat rumah. Isi kitab biasanya merupakan rangkaian puisi dalam sejumlah bait (pupuh) yang disebut kakawin. Selain cerita tentang raja-raja, kitab bisa pula menceritakan mitologi, legenda, cerita rakyat (folklore), undang-undang, hukum pidana-perdata, hingga aturan pernikahan. Di berbagai daerah di Indonesia kitab disebut pula kidung, carita, kakawin, serat, tambo. Bisa pula kitab merupakan sebuah gubahan dari cerita aslinya; dalam arti cerita tersebut sudah mengalami perubahan (tambahan atau pengurangan), baik dalam jumlah tokoh, alur, latar tempat. Mengenai waktu pun sering tak dicantumkan alias diabaikan oleh sang penulis kitab meski yang ditulisnya mengandung sifat kesejarahan.

Pembuatan kitab pertama kali dirintis pada masa DinastiIsana pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Ia mempelopori penggubahan epik Mahabharata dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno). Arjuna Wiwaha, karya Mpu Kanwa ditulis pada masa pemerintahan Raja Airlangga abad ke-11 M. Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, ditulis pada pemerintahan Raja Jayabaya dari Kediri pada abad ke-12.


b. Prasasti (Batu Bertulis)
Prasasti merupakan tulisan yang memuat informasi sejarah yang ditulis pada tugu baru tersendiri atau ditatah di bagian tertentu pada candi. Bahan untuk membuat prasasti ini biasanya batu atau logam. Informasi sejarah ini biasanya berupa peringatan terhadap usaha raja dalam menyejahterakan rakyatnya dalam bentuk memberikan kurban sapi kepada kaum brahmana atau pendirian taman atau penggalian kanal atau sungai. Bisa pula prasasti berisi usaha raja yang berhasil menaklukkan kerajaan lain.

Mulanya, prasasti dan yupa ditulis (zaman Tarumanagara dan Kutai), menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Prasasti-prasasti yang merupakan peninggalan Tarumanagara di antaranya: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi dan Muara Ciaruteun, serta Prasasti Lebak. Kebanyakan prasasti-prasasti ini berbahasa Sansekerta dan berabjad Pallawa. Dengan demikian, tak sembarang orang bisa membuat prasasti kecuali kaum agama dan bangsawan yang pandai mambaca-menulis. Pada masa berikutnya, yaitu masa Mataram dan seterusnya, huruf yang dipakai telah mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan bahasa setempat menjadi huruf Kawi atau Jawa Kuno. Sedangkan di Sumatera, bahasa yang digunakan awalnya adalah Pali dan kemudian menjadi Melayu Kuno.

c. Pertunjukan Wayang
Budaya wayang diperkirakan telah hidup pada masa prasejarah. Budaya mana pun ternyata memiliki seni pertunjukan wayang masing-masing. Di Asia Tenggara karakter wayang memiliki banyak kesamaan, dalam bentuk, motif, hiasan, dan cara dipegang oleh dalang. Pada mulanya, zaman prasejarah, pertunjukan wayang merupakan seni rakyat dan ditujukan untuk menghormati roh leluhur. Kemudian pada masa Hindu-Buddha, kesenian wayang mulai digemari oleh kaum bangsawan dan raja. Jadilah, wayang pun menjadi seni keraton yang mengenal bahasa “halus”, untuk membedakan dengan bahasa rakyat yang “kasar”.

Dalang adalah orang yang memperagakan adegan wayang, membuat dialog percakapan antarwayang, menjadi pencerita (narator), sekaligus memimpin orkestra (gamelan) yang dimainkan para nayaga (pemain alat musik yang seluruhnya pria) dan dinyanyikan oleh sinden (biasanya perempuan). Kisah-kisah yang dipentaskan biasanya diambil dari kakawin Mahabharata atau Ramayana. Dengan demikian, alur dan ceritanya pun banyak ditambah dan diperbaharui. Misalnya, adanya tokoh punakawan seperti Semar.

7. Bidang Seni Tari dan Musik

Seni tari telah ada di Indonesia sejak masa prasejarah. Ketika itu tarian dilakukan sebagai persembahan kepada roh nenekmoyang dalam upacara-upacara, seperti pada acara panen. Jadi, bertari merupakan kegiatan keagamaan yang suci dan ritual. Musik sebagai pengiring para penari berasal dari irama ritmis dari alat-alat perkusi atau tetabuhan yang dipukul-pukul tanpa iringan alat bernada, kecuali suara tenggorokan.

Ketika pengaruh Hindu-Buddha masuk, seni tari masih dipentaskan dalam rangka keagamaan, perkawinan, pengangkatan raja, dan lain-lain. Alat-alat bernada mulai dipakai, seperti alat tiup, alat petik, alat gesek. Persembahan tarian dan musik di kalangan raja dan bangsawan makin berkembang seiring perkenalan masyarakat Indonesia dengan bangsa-bangsa lain. Hingga sekarang pengaruh seni musik India di Indonesia masih dapat dinikmati, misalnya musik dangdut.

Dari uraian di atas, kalian dapat memahami bahwa pertemuan antara dua bangsa yang berbeda akan menghasilkan kebudayaan yang sinkretis, budaya campuran. Penduduk Indonesia yang sejak dulu telah berkenalan dengan budaya luar, pada kenyataannya bias menyerap budaya asing tersebut tanpa harus meninggalkan kebudayaan asli. Dengan kearifan lokalnya masyarakat Indonesia dapat beradaptasi dengan budaya luar dan menyaringnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi ekologis masing-masing. Setelah berasimilasi, akhirnya budaya serapan itu bukanlah sesuatu yang asing lagi, bahkan sudah dianggap budaya sendiri.

8. Bidang Pemerintahan
Bentuk kesatuan masyarakat Indonesia pra Hindu adalah kesatuan masyarakat yang dipimpin oleh seorang kepala yang dipilih berdasar prinsip Prints Inter Pares (yang utama di antara sesama) Namun setelah pengaruh Hindu-Buddha masuk dan berkembang di Indonesia, muncullah sistem pemerintahan Kerajaan yang dipimpin berdasarkan sistem Dinasti (turun temurun).


Relief candi boro budhur
Candi Borobudur adalah sebuah mahakarya agung! Inilah monumen Buddha terbesar di dunia yang telah diakui UNESCO. Ia merupakan puzzle atau lego dari sekira 2 juta balok batu vulkanik raksasa yang dipahat sedemikian rupa sehingga dapat saling mengunci (interlock) meski tanpa menggunakan semen atau perekat apa pun.

Akan tetapi sebagaimana kita ketahui, Borobudur yang dibangun memakan waktu sekira 75 tahun ini bukanlah hanya sekedar tumpukan puzzle batu raksasa, meski teknik menyusun batu-batu ini pun adalah sebuah hal yang luar biasa. Borobudur juga menyimpan pesona keindahan karya seni bernilai tinggi bermuatan sejarah, budaya, dan agama. Kesepuluh pelataran Borobudur diyakini sebagai representasi filsafat mazhab Mahayana, yaitu menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.

Borobudur sudah serupa kitab Buddha yang dipahat di batuan dengan kualitas dan kuantitas pahatan relief dan jenis cerita yang mumpuni serta dilengkapi dengan arca dan stupa yang tak kalah mengagumkan. Candi Borobudur memiliki sekira 2672 panel relief yang konon apabila dibentangkan akan mencapai panjang 6 kilometer. UNESCO bahkan mengakuinya sebagai ansambel relief Buddha terbesar dan terlengkap di dunia. Setiap adegan dan kisah yang terpahat adalah sebuah mahakarya seni yang utuh dan luar biasa tinggi nilainya.

Ada teknik tersendiri untuk membaca relief pada dinding-dinding candi, yaitu dibaca ke arah sesuai arah jarum jam.  Hal ini dikenal dengan istilah mapradaksina (bahasa Jawa Kuna) yang berasal dari bahasa Sansekerta Daksina yang berarti timur. Awal cerita akan dimulai dan berkahir di pintu gerbang sisi Timur di setiap tingkatnya. Borobudur memiliki tangga naik di empat penjuru mata angin tapi diperkirakan tangga naik utama adalah di sebelah Timur.

Relief pada Borobudur terpahat di beberapa tingkatan Borobudur.  Relief-relief tersebut menggambarkan adegan yang diambil  dari beberapa sutra, yaitu cerita Karmawibhanga, Jatakamala, Awadana, Gandawyuha dan Bhadracari.

Karmawibhangga adalah relief yang menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat (hukum karma). Di zona Kamadhatu, beberapa relief-relief Karmawibhangga menggambarkan hawa nafsu manusia, seperti perampokan, pembunuhan, penyiksaan, dan penistaan. Tidak hanya menggambarkan perbuatan jahat, Relief Karmawibhanga yang dipahat di atas 160 panil juga menggambarkan ajaran sebab akibat perbuatan baik.

Setiap panil bukanlah cerita naratif (berseri) dan berisi kisah-kisah tertentu yang di antaranya menggambarkan perilaku masyarakat Jawa Kuna masa itu, antara lain perilaku keagamaan, mata pencaharian, struktur sosial, tata busana, peralatan hidup, jenis-jenis flora dan fauna, dan sebagainya. Secara keseluruhan itu menggambarkan siklus hidup manusia, yaitu: lahir - hidup - mati (samsara).

Kamadhatu adalah gambaran dunia yang dihuni oleh kebanyakan orang, atau dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Karenanya zona ini berada di tingkat paling bawah Borobudur dan kini tertutup oleh pondasi penyokong bangunan sehingga tidak terlihat (kecuali pada sisi Selatan terbuka sedikit). Ada dugaan bahwa tertutupnya zona ini dikarenakan untuk memperkuat struktur atau pondasi bangunan. Akan tetapi, dugaan lain menyebutkan bahwa hal tersebut adalah untuk menutupi konten-konten cabul dari relief tersebut. Untuk melihat relief pada zona ini, Anda dapat mengunjungi Museum Karmawibhangga yang memajang foto-foto di Kamadhatu yang sengaja diambil agar tetap dapat dinikmati pengunjung.

Lalitawistara adalah relief yang menggambarkan riwayat sang Buddha dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita hingga kisah ajaran pertama yang beliau lakukan di Taman Rusa yang berada di dekat Kota Banaras. Relief Lalitawistara berjumlah 120 panil namun tidak secara lengkap menggambarkan kisah sang Buddha.

Lalitawistara adalah rangkaian relief cerita yang terpahat apik pada dinding  candi di lorong 1 tingkat 2. Secara garis besar, Lalitawistara menggambarkan kehidupan Buddha Gautama saat lahir hingga keluar dari istana dan mendapat pencerahan di bawah pohon bodhi.

Jataka dan Awadana adalah relief tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Terpahat di tingkat kedua candi (lorong 1), relief ini bercerita tentang kebaikan sang Buddha dan pengorbanan diri yang ia lakukan dalam berbagai bentuk reinkarnasinya, baik sebagai manusia atau binatang.  Perbuatan baik inilah yang membedakannya dengan makhluk lain. Apalagi berbuat baik adalah tahapan persiapan dalam usaha menuju tingkat Buddha yang lebih tinggi.

Awadana adalah juga berisi cerita Jataka namun tokoh ceritanya bukan Buddha melainkan pangeran Sudhanakumara. Cerita pada relief Awadana dihimpun dalam Kitab Diwyawadana (perbuatan mulia kedewaan) dan Kitab Awadanasataka (seratus cerita Awadana).

Gandawyuha adalah deretan relief yang terpahat rapi di dinding Borobudur sejumlah 460 panil yang terpahat di dinding serta pagar langkan. Pahatan relief ini tersebar di tingkatan candi yang berbeda-beda.

Berkisah tentang Sudhana, putera seorang saudagar kaya yang berkelana dalam usahanya mencari pengetahuan tertinggi atau kebenaran sejati. Penggambarannya pada panil-panil didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha. Sementara itu, untuk  bagian penutupnya, kisah relief berdasarkan cerita kitab lain, yaitu Bhadracari. Kisah ini adalah tentang sumpah Sudhana untuk menjadikan Bodhisattwa Samantabhadra sebagai panutan hidupnya.

Apabila Anda perhatikan mulai dari lantai kelima hingga ketujuh tidak tampak relief pada dindingnya.  Tingkatan yang melambangkan alam atas tersebut dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud).  Pada tingkatan ini, manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa namun belum mencapai nirwana. Pada Arupadhatu yang terlihat adalah stupa-stupa terawang yang di dalamnya terdapat patung Buddha.

Di tingkatan tertinggi dari Candi Borobudur yang memiliki total 10 tingkatan atau pelataran ini terdapat sebuah stupa yang terbesar dan tertinggi. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Unfinished Buddha yang kini di simpan di Museum Karmawibhangga.

Berdenah bujur sangkar dengan keseluruhan ukuran 123 x 123 meter, Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Borobudur memiliki lorong-lorong panjang berupa jalan sempit, diperkirakan sebagai tempat bagi umat Buddha melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur memiliki enam pelataran berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar, dan sebuah pelataran puncak tempat stupa utama berada. Struktur dasarnya berupa punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia. Karena keunikan, keindahan, nilai historis, dan kualitas karya seni yang bernilai tinggi yang termanifestasikan di Borobudur, candi Buddha ini sudah tentu layak menyandang gelar sebagai salah satu mahakarya seni tingkat tinggi dari peradaban Nusantara.


1. Candi Borobudur
Ciri-Ciri nya :
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.



Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
2. Candi Mendut kota malang
Ciri-Ciri nya :
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.
Candi Mendut adalah sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di desa Mendut, kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer dari candi Borobudur.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama veluvana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
3. Candi Ngawen kota magelang
Ciri-Ciri nya :
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Magelang. Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Syailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah yang tersebut dalam prasasti Karang Tengah pada tahun 824 M.
4. Candi Lumbung
Candi Lumbung adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di sebelah candi Bubrah. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini merupakan kumpulan dari satu candi utama (bertema bangunan candi Buddha)
Ciri-cirinya :
Dikelilingi oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relatif cukup bagus.
5. Candi Banyunibo
Candi Banyunibo yang berarti air jatuh-menetes (dalam bahasa Jawa) adalah candi Buddha yang berada tidak jauh dari Candi Ratu Boko, yaitu di bagian sebelah timur dari kota Yogyakarta ke arah kota Wonosari. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada bagian atas candi ini terdapat sebuah stupa yang merupakan ciri khas agama Buddha.
Ciri-cirinya:
Keadaan dari candi ini terlihat masih cukup kokoh dan utuh dengan ukiran relief kala-makara dan bentuk relief lainnya yang masih nampak sangat jelas. Candi yang mempunyai bagian ruangan tengah ini pertama kali ditemukan dan diperbaiki kembali pada tahun 1940-an, dan sekarang berada di tengah wilayah persawahan.
6. Kompleks Percandian Batujaya
Kompleks Percandian Batujaya adalah sebuah suatu kompleks sisa-sisa percandian Buddha kuna yang terletak di Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Situs ini disebut percandian karena terdiri dari sekumpulan candi yang tersebar di beberapa titik.
Cirri-cirinya:
Dari segi kualitas, candi di situs Batujaya tidaklah utuh secara umum sebagaimana layaknya sebagian besar bangunan candi. Bangunan-bangunan candi tersebut ditemukan hanya di bagian kaki atau dasar bangunan, kecuali sisa bangunan di situs Candi Blandongan.
Candi-candi yang sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit (juga disebut sebagai unur dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa). Ternyata candi-candi ini tidak memperlihatkan ukuran atau ketinggian bangunan yang sama.
7. Candi Muara Takus
Candi Muara Takus adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Riau, Indonesia. Kompleks candi ini tepatnya terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar atau jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru, Riau. Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan tak jauh dari pinggir Sungai Kampar Kanan.
Ciri-cirinya:
Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter diluar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua, Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi. Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan candi itu secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.
8. Candi Sumberawan
Candi Sumberawan hanya berupa sebuah stupa, berlokasi di Kecamatan Singosari, Malang. Dengan jarak sekitar 6 km dari Candi Singosari. Candi ini Merupakan peninggalan Kerajaan Singhasari dan digunakan oleh umat Buddha pada masa itu.
Candi Sumberawan terletak di desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, +/- 6 Km, di sebelah Barat Laut Candi Singosari, candi ini dibuat dari batu andesit dengan ukuran P. 6,25m L. 6,25m T. 5,23m dibangun pada ketinggian 650 mDPL, di kaki bukit Gunung Arjuna. Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang memberi nama Candi Rawan.
Cirri-cirinya:
Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang.
9. Candi Brahu
Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Buddha, didirikan abad 15 Masehi. Pendapat lain, candi ini berusia jauh lebih tua ketimbang candi lain di sekitar Trowulan. Menurut buku Bagus Arwana, kata Brahu berasal dari kata Wanaru atau Warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci seperti disebutkan dalam prasasti Alasantan, yang ditemukan tak jauh dari candi brahu. Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok pada tahun 861 Saka atau 9 September 939,
Cirri-cirinya:
Candi Brahu merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja Brawijaya. Anehnya dalam penelitian, tak ada satu pakarpun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Lebih lebih setelah ada pemugaran candi yang dilakukan pada tahun 1990 hingga 1995.
10. Candi Sewu
Candi Sewu adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks candi Prambanan (hanya beberapa ratus meter dari candi utama Roro Jonggrang). Candi Sewu (seribu) ini diperkirakan dibangun pada saat kerajaan Mataram Kuno oleh raja Rakai Panangkaran (746 – 784). Candi Sewu merupakan komplek candi Buddha terbesar setelah candi Borobudur, sementara candi Roro Jonggrang merupakan candi bercorak Hindu.
Menurut legenda rakyat setempat, seluruh candi ini berjumlah 999 dan dibuat oleh seorang tokoh sakti bernama, Bandung Bondowoso hanya dalam waktu satu malam saja, sebagai prasyarat untuk bisa memperistri dewi Roro Jonggrang. Namun keinginannya itu gagal karena pada saat fajar menyingsing, jumlahnya masih kurang satu.