Perundingan
Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Linggajati adalah suatu
perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang
menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil
perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946
dan ditandatangani secara sah kedua negara pada 25 Maret 1947.
Latar
Belakang[sunting | sunting sumber]
Masuknya AFNEI yang
diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia
menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti
contohnya peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi
penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Oleh
sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, Diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan
Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal
karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan
Pulau Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura
saja.
Misi
pendahuluan[sunting | sunting sumber]
Pada akhir Agustus
1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk
menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7
Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka
perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan
ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan
ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.
Jalannya
perundingan[sunting | sunting sumber]
Dalam perundingan ini
Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut
Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van
Mook,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam
perundingan ini.
Hasil
perundingan[sunting | sunting sumber]
Wikisumber memiliki naskah sumber yang
berkaitan dengan artikel ini:
Perjanjian
Linggarjati
Hasil perundingan
terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi:
Belanda mengakui
secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
Belanda harus
meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
Pihak Belanda dan
Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
Dalam bentuk RIS
Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda
dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Pro dan Kontra di
kalangan masyarakat Indonesia[sunting | sunting sumber]
Salah satu poster
yang dipajang di Bangunan Cagar Budaya Gedung Perundingan Linggarjati berisikan
himbauan pencegahan konflik akibat pro kontra masyarakat Indonesia terhadap
hasil perundingan.
Perjanjian
Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia,
contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia,
dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian
itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan
kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung
perundingan linggarjati.
Pelanggaran
Perjanjian[sunting | sunting sumber]
Pelaksanaan hasil
perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur
Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi
dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer
Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia
dan Belanda.
Delegasi-delegasi
Belanda dan Indonesia dalam rapat pada hari ini telah mendapatkan kata sepakat
tentang persetujuan di bawah ini, hal mana terbukti dari pemarapan naskah yang
tersebut dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia masing-masing berlipat tiga.
Pemerintah Belanda,
dalam hal ini
berwakilkan Komisi Jenderal,
dan
Pemerintah Republik
Indonesia,
dalam hal ini
berwakilkan Delegasi Indonesia,
oleh karena
mengandung keinginan yang ikhlas hendak menetapkan perhubungan yang baik antara
kedua bangsa, Belanda dan Indonesia, dengan mengadakan cara dan bentuk-bangun
yang baru, bagi kerja-sama dengan sukarela, yang merupakan jaminan
sebaik-baiknya bagi kemajuan yang bagus, serta dengan kukuh-teguhnya dari pada
kedua negeri itu, di dalam masa datang, dan yang membukakan jalan kepada kedua
bangsa itu untuk mendasarkan perhubungan antara kedua belah pihak atas
dasar-dasar yang baru, menetapkan mupakat seperti berikut, dengan ketentuan
akan menganjurkan persetujuan ini selekas-lekasnya untuk memperoleh kebenaran dari
pada majlis-majlis perwakilan rakyatnya masing-masing.
Fatsal 1.
Pemerintah Belanda
mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa,
Madura, dan Sumatra.
Adapun daerah-daerah
yang diduduki oleh tentara Serikat atau tentara Belanda dengan berangsur-angsur
dan dengan kerja-sama antara kedua belah pihak akan dimasukkan pula ke dalam
Daerah Republik. Untuk menyelenggarakan yang demikian itu, maka dengan segera
akan dimulai melakukan tindakan yang perlu-perlu, supaya, selambatnya pada
waktu yang disebutkan dalam pasal 12, termasuknya daerah-daerah yang terserbut
itu telah selesai.
Fatsal 2.
Pemerintah Belanda
dan Pemerintah Republik Indonesia bersama-sama menyelenggarakan segera
berdirinya sebuah negara berdaulat dan berdemokrasi, yang berdasarkan
perserikatan, dan dinamai Negara Indonesia Serikat.
Fatsal 3.
Negara Indonesia
Serikat itu akan meliputi daerah Hindia Belanda seluruhnya, dengan ketentuan,
bahwa, jika kaum penduduk dari pada sesuatu bagian daerah, setelah
dimusyawaratkan dengan lain-lain bagian daerah pun juga, menyatakan menurut
aturan demokratis, tidak atau masih belum suka masuk ke dalam perserikatan
Negara Indonesia Serikat itu, maka untuk bagian daerah itu bolehlah diwujudkan
semacam kedudukan istimewa terhadap Negara Indonesia Serikat itu terhadap
Kerajaan Belanda.
Fatsal 4.
(1) Adapun
negara-negara yang kelak merupakan Negara Indonesia Serikat itu, ialah Republik
Indonesia, Borneo dan Timur-Besar, yaitu dengan tidak mengurangi hak kaum
penduduk dari pada sesuatu bagian daerah, untuk menyatakan kehendaknya, menurut
aturan demokratis, supaya kedudukannya dalam Negara Indonesia Serikat itu
diatur dengan cara lain.
(2) Dengan tidak
menyalahi ketentuan di dalam pasal 3 tadi dan di dalam ayat ke (1) pasal ini,
Negara Indonesia Serikat boleh mengadakan aturan istimewa tentang daerah
ibu-negerinya.
Fatsal 5.
(1) Undang-undang
Dasar dari pada Negara Indonesia Serikat itu ditetapkan nanti oleh sebuah persidangan
pembentuk negara, yang akan didirikan dari pada wakil-wakil Republik Indonesia
dan wakil-wakil sekutu lain-lain yang akan termasuk kelak dalam Negara
Indonesia Serikat itu, yang wakil-wakil itu ditunjukkan dengan jalan
demokratis, serta dengan mengingat ketentuan ayat yang berikut dalam pasal ini.
(2) Kedua belah pihak
akan bermusyawarat tentang cara turut campurnya dalam persidangan pembentuk
negara itu oleh Republik Indonesia, oleh daerah-daerah yang tidak termasuk
dalam daerah kekuasaan Republik itu dan oleh golongan-golongan penduduk yang
tidak ada atau tidak cukup perwakilannya, segala itu dengan mengingat
tanggung-jawab dari pada Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia
masing-masing.
Fatsal 6.
(1) Pemerintah
Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia untuk membela-perliharakan
kepentingan-kepentingan bersama daripada Negeri Belanda dan Indonesia akan
bekerja bersama untuk membentuk Persekutuan Belanda-Indonesia, yang dengan
terbentuknya itu Kerajaan Belanda, yang meliputi Negeri Belanda, Hindia
Belanda, Suriname dan Curacao ditukar sifatnya menjadi persetujuan itu, yang
terdiri pada satu pihak dari pada Kerajaan Belanda, yang meliputi Negeri
Belanda, Suriname dan Curacao dan pada pihak lainnya dari pada Negara Indonesia
Serikat.
(2) Yang tersebut di
atas ini tidaklah mengurangi kemungkinan untuk mengadakan pula aturan kelak
kemudian, berkenaan kedudukan antara Negeri Belanda dengan Suriname dan Curacao
satu dengan lainnya.
Fatsal 7.
(1) Untuk membela
peliharakan kepentingan-kepentingan yang tersebut di dalam pasal di atas ini,
Persekutuan Belanda-Indonesia itu akan mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri.
(2) Alat-alat
kelengkapan itu akan dibentuk kelak oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah
Negeri Indonesia Serikat; mungkin juga oleh majlis-majlis perwakilan
negara-negara itu.
(3) Adapun yang akan
dianggap kepentingan-kepentingan bersama itu ialah kerja-bersama dalam hal
perhubungan luar-negeri, pertahanan dan, seberapa perlu keuangan, serta juga
hal-hal ekonomi dan kebudayaan.
Fatsal 8.
Di pucuk Persekutuan
Belanda-Indonesia itu duduk Raja Belanda. Keputusan-keputusan bagi mengusahakan
kepentingan-kepentingan bersama itu ditetapkan oleh kelengkapan Persekutuan itu
atas nama Baginda Raja.
Fatsal 9.
Untuk
membela-peliharakan kepentingan-kepentingan Negara Indonesia Serikat di Negeri
Belanda dan kepentingan-kepentingan Kerajaan Belanda di Indonesia, maka
Pemerintah masing-masingnya kelak mengangkat Komisaris Luhur.
Fatsal 10.
Anggar-anggar
Persekutuan Belanda-Indonesia itu antara lain-lain akan mengandung
ketentuan-ketentuan tentang:
a). pertanggungan
hak-hak kedua belah pihak yang satu terhadap yang lain dan jaminan-jaminan
kepastian kedua belah pihak menetapi kewajiban-kewajiban yang satu kepada yang
lain;
b). hal
kewarganegaraan untuk warganegara Belanda dan warganegara Indonesia,
masing-masing di daerah lainnya;
c). aturan cara
bagaimana menyelesaikannya, apabila dalam alat-alat kelengkapan Kerajaan
Belanda memberi bantuan kepada Negara Indonesia Serikat, untuk selama masa
Negara Indonesia Serikat itu tidak akan cukup mempunyai alat-alat kelengkapan
sendiri;
d). pertanggungan
dalam kedua bagian Persekutuan itu, akan ketentuan hak-hak dasar kemanusiaan
dan kebebasan-kebebasan, yang dimaksudkan juga oleh Piagam Persekutuan
Bangsa-Bangsa.
Fatsal 11.
(1) Anggar-anggar itu
akan direncanakan kelak oleh suatu permusyawaratan antara wakil-wakil Kerajaan
Belanda dan Negara Indonesia Serikat yang hendak dibentuk itu.
(2) Anggar-anggar itu
terus berlaku, setelah dibenarkan oleh majlis-majlis perwakilan rakyat kedua
belah pihak masing-masingnya.
Fatsal 12.
Pemerintah Belanda
dan Pemerintah Republik Indonesia akan mengusahakan, supaya berwujudnya Negara
Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-Indonesia itu telah selesai, sebelum
tanggal 1 Januari 1949.
Fatsal 13.
Pemerintah Belanda
dengan segera akan melakukan tindakan-tindakan agar supaya, setelah
terbentuknya Persekutuan Belanda Indonesia itu, dapatlah Negara Indonesia
Serikat diterima menjadi anggauta di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Fatsal 14.
Pemerintah Republik
Indonesia mengakui hak orang-orang bukan bansa Indonesia akan menuntut
dipulihkan hak-hak mereka yang dibekukan dan dikembalikan barang-barang milik
mereka, yang lagi berada di dalam daerah kekuasaannya de facto. Sebuah panitya
bersama akan dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan atau pengembalian itu.
Fatsal 15.
Untuk mengubah sifat
Pemerintah Hindia, sehingga susunannya dan cara bekerjanya seboleh-bolehnya
sesuai dengan pengakuan Republik Indonesia dan dengan bentuk-susunan menurut
hukum negara, yang direkakan itu, maka Pemerintah Belanda akan mengusahakan,
supaya dengan segera dilakukan aturan-aturan undang-undang, akan supaya
sementara menantikan berwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan
Belanda-Indonesia itu, kedudukan Kerajaan Belanda dalam hukum negara dan hukum
bangsa-bangsa disesuaikan dengan keadaan itu.
Fatsal 16.
Dengan segera setelah
persetujuan itu menjadi, maka kedua belah pihak melakukan pengurangan kekuatan
balatentaranya masing-masing.
Kedua belah pihak
akan bermusyawarat tentang sampai seberapa dan lambat-cepatnya melakukan
pengurangan itu; demikian juga tentang kerja-bersama dalam hal ketentaraan.
Fatsal 17.
(1) Untuk
kerja-bersama yang dimaksudkan dalam persetujuan ini antara Pemerintah Belanda
dan Pemerintah Republik Indonesia, hendak diwujudakan sebuah badan, yang
terdiri dari pada delegasi-delegasi yang ditunjukkan oleh tiap-tiap pemerintah
itu masing-masingnya, dengan sebuah sekretariat bersama.
(2) Pemerintah
Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, bila ada tumbuh perselisihan
berhubung dengan persetujuan ini, yang tidak dapat diselesaikan denga
perundingan antara dua delegasi yang terserbut itu, maka menyerahkan keputusan
kepada arbitrage. Dalam hal itu persidangan delegasi-delegasi itu akan ditambah
dengan seorang ketua bangsa lain, dengan suara memutuskan, yang diangkat dengan
semupakat antara dua pihak delegasi itu, atau, jika tidak berhasil semupakat
itu, diangkat oleh ketua Dewan Pengadilan Internasional.
Fatsal penutup.
Persetujuan ini
dikarangkan dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia.
Kedua-duanya naskah
itu sama kekuatannya.
2.1 Kedatangan
Kembali Pihak Asing di Indonesia
2.1.1. Kedatangan
Sekutu di Indonesia
Terbentuknya
Perjanjian Linggarjati tidak dapat dilepaskan dari latar belakang
Internasional. Dalam bulan-bulan terakhir peperangan di Pasifik, oleh Sekutu
diputuskan bahwa yang diutamakan adalah penyerbuan Jepang. Penyerbuan itu
ditugaskan kepada Jenderal Mac Arthur dilepaskan dari tanggung jawabnya atas
sebagian besar dari wilayahnya, antara lain seluruh wilayah Hindi – Belanda ,
yang diserahkan kepada Laksamana
Mountbatten, bertanggung jawab atas Sumatra, ia segera, setelah Jepang
menyerah, berniat menjalankan tugasnya. Akan tetapi Mac Arthur berkeberatan dan
minta supaya Mountbatten menunggu sampai Jepang menandatangani dokumen dokumen
penyerahan di Tokyo karena Mac Arthur khawatir satuan-satuan Jepang akan
mengadakn perlawanan sebelum Jepang resmi menyerah. Para kepala staf Inggris di
London setuju dengan Mac Arthur. Jepang
menandatangani dokumen-dokumen penyerahan pada tanggal 2 September 1945
Tetapi, pengiriman
tentara Inggris ke Indonesia merupakan prioritas sangat rendah dalam daftar
kegiatan Mountbatten. Tentara Inggris baru mendarat di Jakarta pada tanggal 26
September 1945. Tenggat waktu antara Proklamasi Kemerdekaan dan kedatangan
tentara Inggris satu setengah bulan. Hal ini membawa 3 keuntungan bagi RI.
Pertama, api revolusi membara di seluruh Indonesia. Kedua, memberi kesempatan
kepada republic untuk mengorganisasi pemerintahnya dan menyusun kekuatan
fisiknya. Ketiga, selama dimarkas besarnya di Kandy, Sri Langka, Mountbatten
mulai menyadari bahwa informasi yang diterimanya dari sumber sumber Belanda
mengenai keadaan di Indonesia sama sekali tidak cocok dengan kenyataan Van
Mook, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, antara lain melaporkan bahwa
kemerdekaan Indonesia di Proklamasikan oleh Panglima Tertinggi Jepang di Jawa
bersama Ir Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945.
2.1.2 Kabinet Beel dan kegagalan Perundingan Hooge
Pada tanggal 17 Mei
1946 “Katholieke Volkspartij” (KVP-Partai Rakyat Katolik) memenangkan pemilihan
umum di Negeri Belanda, kemudian pada bulan Juli 1946 bersama dengan “Partij
van de Arbeid” (Partai Buruh) berkoalisi membentuk pemerintahan. Dr. Beel
ditunjuk sebagai Perdana Menteri.
Sebelumnya, setelah
pendaratan sekutu di Indonesia pada bulan September 1945, van Mook ditunjuk
sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru menggantikan van Starkenborgh
Stachouwer yang mengundurkan diri akibat berbeda pendapat dengan Logemann,
Menteri Daerah Seberang Lautan, yang mengakui nasionalisme di Indonesia.
Kabinet Beel kemudian
membentuk “Komisi Jenderal” pada tanggal 2 September 1946 dengan tujuan
“sementara dikuasakan menjalankan wewenang-wewenang pemerintah agung untuk
memajukan persiapan-persiapan suatu tertib hukum baru bagi Hindia Belanda”. Van
Mook kemudian menulis surat kepada Menteri Daerah Seberang Lautan yang baru,
Mr.J.A. Jonkman, pada tanggal 7 September 1946 bahwa ini adalah kesempatan yang
ketiga, setelah akhir tahun 1945 dan April 1946, untuk mengadakan perundingan
dengan pihak republik setelah dua perundingan sebelumnya menghasilkan
kegagalan. Bahkan ia mengatakan, “Saya yakin bahwa ini adalah kesempatan
terakhir” (Ide, 1983:34)
Mengenai pembentukan
Uni-Indonesia Belanda bukan terbentuk pada Perjanjian Linggarjati namun
didahului oleh perundingan di HogeVoluwe di Negeri Belanda yang dilaksanakan
pada tanggal 14-25 April 1946, berdasarkan suatu rancangan yang disusun oleh
Sjahrir, Perdana Mentri dalam Kabinet Sjahrir II.
Sebelumnya tanggal 10 Februari 1946, sewaktu
Sjahrir menjabat Perdana Mentri dalam Kabinet Sjahrir I, Van Mook telah
menyampaikan kepada Sjahrir rencana Belanda yang berisi pembentukan negara
persemakmuran Indonesia, yang terdiri atas kesatuan kesatuan yang mempunyai
otonomi dari berbagai tingkat negara persemakmuran menjadi bagian dari Kerajaan
Belanda. Bentuk politik ini hanya berlaku untuk waktu terbatas, setelah itu
peserta dalam kerajaan dapat menentukan apakah hubungannya akan dilanjutkan
berdasarkan kerjasama yang bersifat
sukarela.
Perundingan yang
berlangsung di Hooge Voluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak
konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta Pihak Belanda
tidak tersedia memberikan pengakuan de’facto kedaulatan RI atas Jawa dan
Sumatera tetapi hanya jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang
diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan
Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul
bagi pemerintahannya kepada pihak RI.
2.2 Perjanjian
Linggarajati dan dampaknya bagi Indonesia
2.2.1 Isi Perjanjian
Linggarjati
Seperti kebanyakan
orang tahu Perundingan Linggarjati berlangsung juga pada tanggal 15 November
1946. Dalam perundingan tersebut, Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir,
sedangkan Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn. Sebagai penengah adalah
Lord Killearn dari Inggris. yang di lakukan di wilaya Linggarjati ini ber
isikan sebagai berikut :
1. Pengakuan status de facto RI atas Jawa,
Madura, dan Sumatera oleh Belanda.
2. Pembentukan negara federal yang disebut
Republik Indonesia Serikat (RIS).
3. Pembentukan Uni Indonesia-Belanda dengan
Ratu Belanda sebagai kepala negara.
4. Pembentukan RIS dan Uni
Indonesia-Belanda sebelum 1 Januari 1949.
Wilayah RIS dalam
kesepakatan tersebut mencakup daerah bekas Hindia Belanda yang terdiri atas:
Republik Indonesia, Kalimantan, dan Timur Besar. Persetujuan tersebut
dilaksanakan pada 15 November 1946 dan baru memperoleh ratifikasi dari Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 25 Februari 1947 yang
ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Negara, Jakarta.
(Lapian,1992:98)
2.2.2 Pro dan Kontra
mengenai perundingan Linggarjati di kalangan elit Politik Indonesia
Perjanjian
Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia,
contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia,
dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian
itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan
kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung
perundingan linggarjati.
Selain itu juga hal
ini membawa dampak kurang baik bagi Sjahrir. Ia dianggap terlalu banyak
memberikan konsensi kepada Belanda terutama oleh anggota partainya sendiri.
Pada akhirnya sebagian besar anggota Partai Sosialis di kabinet dan KNIP pun
menarik dukungan terhadap Sjahrir pada tanggal 26 Juni 1947. Sjahrir
mengembalikan mandat Perdana Menteri kepada Presiden Soekarno keesokan harinya.
(Djoeir,1997:--)
Selain itu juga ada
yang berpendapat bahwa :
1. Adanya keyakinan bahwa bagaimanapun juga
jalan damai merupakan jalan yang paling baik dan aman untuk mencapai tujuan
Bangsa Indonesia.
2. Cara damai akan mendatangkan simpati dan
dukungan internasional yang harus diperhitungkan oleh lawan.
3. Keadaan militer Indonesia yang masih
lemah jika menyetujui perundingan memungkinkan Indonesia memperoleh kesempatan
untuk memperkuat militer.
4. Jalan diplomasi dipandang sebagai jalan
untuk memperjuangkan pengakuan kedaulatan dan penegakan Negara RI yang berdaulat.
2.2.3 Dampak Perjanjian Linggarjati
Hubungan
Indonesia-Belanda tidak bertambah lebih baik. Perbedaan tafsiran terhadap
pasal-pasal dalam naskah persetujuan Linggarjati menjadi pangkal perselisihan.
Lebih-lebih setiap pihak Belanda secara terang-terangan melanggar gencatan
senjata. Selanjutnya pada tanggal 27 Mei 1947 pihak Belanda melalui misi
Idenburg menyampaikan nota kepada Pemimpin RI yang harus dijawab dalam 2
minggu. Isi nota tersebut adalah sebagai berikut:
· Membentuk pemerintahan peralihan
bersama
· Hendaknya diadakan Garis
Demiliterisasi
· Perlunya sebagian Angkatan darat,
Laut, dan udara kerajaan Hindu-Belanda tinggal di Indonesia tinggal indonesia
untuk pembangunan suatu pertahanan yang modern.
· Perlunya pembentukan alat kepolisian
yang dapat melindungi kepentingan dalam dan luar negeri.
Pada tanggal 8 Juni
1947 pemerintah RI menyampaikan nota balasan yang isinya antara lain sebagai
berikut:
· Dalam masalah politik Pemerintah RI
menyetujui pembentukan Negara Indonesia Timur walaupun tidak selaras dengan
perjanjian Linggarjati
· Dalam bidang militer pemerintahan RI menyetujui
demiliterisasi antara daerah demarkasi kedua belah pihak. Keamanan dalam
zona Bebas Militer tersebut akan diserahkan kepada polisi.
· Mengenai Pertahanan Indonesia Serikat
harus dilakukan oleh tentara nasional Masing-masing sehingga gendarmerie
(pertahanan bersama) ditolak.
Nota balasan yang
disampaikan oleh Syahrir tersebut dianggap terlalu lemah. Akibatnya semakin
banyak partai-partai dalam KNIP yang menentangnya, bahkan partainya sendiri
juga melepaskan dukungannya. Akhirnya Kabinet Syahrir menyerahkan kembali
mandatnya kepada presiden.
Sementara itu dengan
adanya perbedaan penafsiran terhadap isi Perjanjian Linggarjati itu, pihak Belanda melanjutkan aksinya dengan
melakukan Agresi Militer pada tanggal 21 Juli 1947 pukul 00.00. Dalam waktu
singkat Belanda berhasil menerobos garis pertahanan TNI. Kekuatan TNI dengan organisasi dan peralatan yang
sederhana tidak mampu menahan pukulan musuh yang serba modern. TNI menyadari
bahwa sistem pertahanan linier tidak tepat untuk menghadapi situasi seperti
itu.
2.2.3 Diplomasi jalur
Promosi Indonesia ke Dunia luas
Dalam menghadapi
masalah konflik Indonesia-Belanda maka Indonesia melakukan upaya untuk menarik
dukungan internasional melalui PBB. Perjuangan mencari dukungan internasional
lewat PBB dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tindakan
langsung dilakukan dengan mengemukakan masalah Indonesia di hadapan sidang
Dewan Keamanan PBB. Tindakan tidak langsung dilakukan melalui pendekatan dan
hubungan baik dengan negara-negara yang akan mendukung Indonesia dalam
sidang-sidang PBB. Negara-negara yang mendukung Indonesia antara lain sebagai
berikut. Adapun upaya indonesia tersebut adalah sebagai berikut :
· Membina hubungan baik dengan Australia
saat pasukan dari negara tersebut terlibat dalam tugas AFNEI.
· Membina hubungan baik dengan India
yang dimulai dengan mengirimkan bantuan beras sejak bulan Agustus 1946.
· Membina Hubungan baik dengan Liga
Arab.
· Mengadakan pendekatan dengan
negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB.
Perjanjian
Linggarjati ini merupakan awal dan menunjukan kesiapan bangsa Indonesia yang
baru merdeka mampu menunjukan diri di muka dunia bahwa mereka siap menghadapi
Belanda dengan berbagai cara baik jalan keras atau diplomasi.
2.1 Proses terjadinya
perundingan Linggarjati
Di Indonesia awal diplomasi dimulai pada saat
adanya Vacuum of Power di Asia Tenggara, sewaktu menyerahnya Jepang. Kemudian
Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Sesuai teori berdirinya sebuah
negara, maka harus ada warga negara, wilayah, pemerintah, dan pengakuan dari
negara lain. Ketiga unsur pertama sudah ada, tinggal pengakuan dari negara
lain. Dapat dikatakan perjanjian Linggarjati merupakan salah satu strategi
Indonesia untuk memperkokoh eksistensinya di dunia internasional dan menyatakan
bahwa kemerdekaan Indonesia itu nyata adanya. Terbentuknya Perjanjian
Linggarjati tentunya tidak dapat dilepaskan dari latar belakang internasional
dan nasional. Keadaan dunia pasca perang Pasifik dapat dikatakan masih belum
stabil. Sekutu mulai berdatangan untuk menarik mundur seluruh pasukan Jepang
yang ada dalam kawasan Hindia-Belanda, yang awalnya dipimpin oleh Jenderal Mac
Arthur, lalu kemudian diserahkan oleh Laksamana Mountbatten. Pengiriman Tentara
Inggris ke Indonesia dapat dikatakan relatif lama, yakni pada tanggal 26
September 1945 atau satu setengah bulan sejak diproklamirkannya kemerdekaan
Republik Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Namun dibalik itu, justru keadaan
seperti inilah yang menguntungkan Indonesia. Pertama, api revolusi membara di
seluruh Indonesia. Kedua, hal ini memberi kesempatan kepada Indonesia untuk
mengorganisasi pemerintahnya dan menyusun kekuatan fisiknya. Dan ketiga,
Laksamana Mountbatten menyadari bahwa keadaan yang dilaporkan oleh pihak
Belanda tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Akhirnya, berdasarkan
laporan dari para informan Inggris, Laksamana Mountbatten mengetahui bahwa
telah berkobarnya semangat nasionalisme yang sangat tinggi pemuda-pemuda
Indonesia untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia seutuhnya. Selain itu,
Mountbatten juga menyadari bahwa Indonesia dan Belanda sedang bersitegang
mengenai permasalahan itu. Oleh karenanya, Mountbatten menentukan garis
kebijakan, yakni tentara Inggris tidak akan campur tangan dalam perselisihan
politik RI dan Belanda (seperti di tuntut Belanda). Tugas tentara Inggris
sebenarnya adalah sebagai Recovery of Allied Prisoners of War Internees
(RAPWI), terbatas pada pembebasan tahanan-tahanan sekutu, sipil, militer, serta
memerintahkan penyerahan tentara Jepang, melucuti dan mengembalikan mereka ke
Jepang . Walaupun begitu, pemerintah Hindia-Belanda tetap berusaha membantu
supaya pihak Belanda dan Pihak Indonesia mencapai persetujuan Politik. Segera
setelah satuan-satuan tentara Inggris mendarat, Inggris dibawah Jendral Sir
Philip Christison pimpinan AFNEI (Allied Forces In the Nederland East Indies).
Dalam menjalankan tugasnya melucuti tentara Jepang, meminta bantuan para
pemimpin Indonesia sebenarnya dianggap bertentangan dengan instruksi yang
diberikan/diperoleh, yaitu jadinya mengakui Indonesia sebagai negara yang
legal/merdeka. .(Lapian & Drooglever : 1992: 5)
Pada 14 November
1945, sistem presidensial diubah menjadi sistem parlementer. Sjahrir diangkat
sebagai perdana menteri pertama. Tak berapa lama setelah pengangkatan Sjahrir,
Inggris mengajak berunding. Namun sayangnya kabinet Sjahrir menjawab dengan
maklumat, bahwa Indonesia tidak sudi berunding selama Belanda berpendirian
masih berdaulat di Indonesia. Menanggapi reaksi dari Indonesia, Belanda lalu
memblokade Jawa dan Madura. Tapi Sjahrir melakukan diplomasi cerdik. Meskipun
dilanda kekurangan pangan, Sjahrir memberikan bantuan beras ke India pada
Agustus 1946. Tindakan Sjahrir ini membuka mata dunia. Semula Belanda enggan
melakukan kontak dengan pihak Republik karena paksaan Inggris karena serta
opini dunia, Belanda dengan berat hati terpaksa menghadapi Indonesia di meja
perundingan.
Seperti bermain
catur, sedikit demi sedikit Sjahrir terus mencoba menekan pemerintah Belanda
melalui diplomasi. Ia terus-menerus mengupayakan agar Indonesia dan Belanda
duduk di meja perundingan. Kesempatan pertama datang dalam perundingan di Hoge
Veluwe, Belanda, 14-16 April 1946. Ketika itu Indonesia mengajukan tiga usul:
pengakuan atas Republik Indonesia sebagai pengemban kekuasaan di seluruh bekas
Hindia Belanda, pengakuan de facto atas Jawa dan Madura, serta kerja sama atas
dasar persamaan derajat antara Indonesia dan Belanda. Usul itu ditolak Belanda.
.(Lapian & Drooglever : 1992: 9)
Peluang berunding
dengan Belanda terbuka lagi ketika Inggris mengangkat Lord Killearn sebagai
utusan istimewa Inggris di Asia Tenggara, sekaligus penengah konflik
Indonesia-Belanda. Konsulat Inggris di Jakarta mengumumkan, selambat-lambatnya
pada 30 November 1946 tentara Inggris akan meninggalkan Indonesia . Kabinet
baru Belanda kemudian mengutus Schermerhorn sebagai Komisi Jenderal untuk
berunding dengan Indonesia. Schermerhorn dibantu tiga anggota: Van Der Poll, De
Boer, dan Letnan Gubernur Jenderal H.J. Van Mook. .(Lapian & Drooglever :
1992: 10)
Perjanjian Linggarjati
didahulukan oleh perundingan di Hoge Voluwe. Negeri Belanda dari tanggal 14
sampai dengan 24 April 1946 berdasarkan suatu rancangan yang disusun oleh
Sjahrir, perdana menteri dalam Kabinet Sjahrir II. Sebelumnya tanggal 10 Februari 1946, sewaktu
Sjahrir menjabat perdana menteri dalam Kabinet Sjahnr I, Van Mook telah
menyampaikan kepada Sjahrir rencana Belanda, yang berisi pembentukan negara
persemakmuran Indonesia, yang terdiri atas kesatuan-kesatuan yang mempunyai
otonomi dari berbagai tingkat negara persemakanuran mejadi bagian dari Kerajaan
Belanda. Bentuk politik ini hanya berlaku untuk waktu terbatas, setelah itu
peserta dalam Kerajaan dapat menentukan apakah hubungannya akan dilanjutkan
berdasarkan kerja sama yang bersifat sukarela.
Sementara itu
pernerintah Inggris mengangkat seorang Diplomat tingkat tinggi. Sir Archibald
Clark Kerr (yang kemudian diberi gelar Lord Inverchapel), untuk bertindak
sebagai ketua dalam perundingan Indonesia-Belanda. .(Lapian & Drooglever :
1992: 11)
Segera setelah
terbentuknya Kabinet Sjahrir II, Sjahrir membuat usul-usul tandingan. Yang
penting dalam usul itu ialah bahwa (a) Republik Indonesia diakui sebagai negara
berdaulat yang meliputi dacrah bekas Hindia-Belanda, dan (b) antara negeri
Belanda dan RI dibentuk federasi. Jelaslah bahwa usul ini bertentangan dengan
usul Van Mook. Setelah diadakan
perundingan antara Van Mook dan Sjaiuir dicapai kesepakatan ;
Rancangan persetujuan
diberikan bentuk sebagai Perjanjian Indonesia Intemasional dengan "Preambule"
Pemerintah Belanda
mengakui kekuasaan de facto republik atas Pulau Jawa dan Sumatra
Pada rapat pleno tanggal 30 Maret 1946 Van
Mook menerangkan bahwa rancangannya merupakan usahanya pribadi tanpa diberi
kekuasaan oleh pemerintahanya. Maka diputuskan bahwa Van Mook akan pergi ke
negeri Belanda, dan kabinet rnengirim satu delegasi ke Negeri Belanda yang
terdiri atas Soewandi. Soedarsono dan Pringgodigdo. Perundingan diadakan
tanggal 14-24 April 1946. Pada hari pertama ternyata perundingan sudah mencapai
deadlock, Belanda menganggap dirinya sebagai negara pemegang kedautalatanatas
Indonesia. Perundingan di Hoge Voluxve merupakan kegagalan
akan tetapi pengalaman yang diperoleh dan perundingan Hoge Voluwe
ternyata berguna dalam perianjian Linggarjati. .(Lapian & Drooglever :
1992: 12)
Perundingan politik
dimulai di Jakarta, tempatnya bergantian antara Istana Rijswijk (sekarang
Istana Negara) tempat penginapan anggota Komisi Jenderal dengan tempat kediaman
resmi Sjahrir, jalan Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi) 56.
Perundingan di tempat kediaman Sjahrir dipimpin oleh Sehermerhom sdangkan
perundingan di Istana Rijswijk dipimpin oleh Sjahrir. Sebagai dasar perundingan
dipakai rancangan persetujuan yang merupakan kombinasi rancangan Delegasi
Belanda. Perundingan di Jakarta diadakan empat kali dengan yang terakhir
tanggal 5 Nopember. Delegasi Republik Indonesia kemudian menuju ke Yogya untuk
memberi laporan kepada Presiden, Wakil Presiden dan Kabinet dan setelah itu
berangkat ke Linggarjati. Lord Killearn datang pada tanggal 10 nopember dengan
menumpang kapal perang inggris HMS “Verayan Bay”. Beliau diangkat dengan perahu
motor ALRI ke Cirebon, diantar dengan mobil Linggarjati dan ditempatkan di
rumah yang terletak dekat rumah penginapan Sjahrir.Angkatan Laut Belanda telah
mempersiapkan Kapal Perang H.M. “banchert” untuk dipakai sebagai tempat
penginapan Delegasi Belanda. Menjelang kedatangan Delegasi Belanda. “Banckert”
telah buang jangkar diluar pelabuhan Cirebon. Pada tanggal 11 Nopember Delegasi
Belanda datang dengan kapal terbang “Catalina” dan dibawa ke “Banckert”.
Seperti apa yang dilakukan satu hari sebelumnya perahu ALRI datang untuk
menjemput Delegasi Belanda Komandan Banckert menolak dan minta Delegasi
diangkat dengan perahu patroli “Banckert”. Hal ini ditolak oleh Komandan perahu
motor ALRI. Akhirnya persoalan ini dipecahkan dengan diperkenankannya Delegasi
Belanda diangkat perahu Patroli “Banckert” tetapi dikawal oleh perahu motor
ALRI. .(Lapian & Drooglever : 1992: 17)
Insiden di atas
menggambarkan kesulitan-kesulitan vang dihadapi oleh pejabat-pejabat Indonesia.
Keterbatasan dihampir semua bidang seperti kendaraan, alat komunikasi,
perumahan mengakibatkan hampir mustahil bagi Gubernur Jawa Barat, Residen
Cirebon, Bupati Kuningan. Bupati Cirebon, dan Komandan Militer Daerah
menjalankan tugasnya menjaga keamanan para pejabat tinggi Indonesia dan asing.
Kenyauan bahwa selama penzndingan tidak terjadi insiden patut dikagumi dan
dipuji Tentu saja disiplin rakyat dan pengertiarung-a tentang pentingnya
perundingan sangat membantu para pejabat dalam menjalarkan tugasnya. .(Lapian
& Drooglever : 1992: 18)
1.Perundingan Pertama
Karena insiden
Banckert" seperti diuraikan diatas, Delegasi Belanda baru sampai di
Linggarjati pukul 11:00 dan karena harus kembali ke "Banckert" jam
setengah lima sore, maka perundingan hari itru hanya singkat saja, yakni tiga
setengah jam. Schemerhom memutuskan tinggal di Linggarjati karena berpendapat
akan .menimbulkan kesan kurang baik pada kalangan Indonesia jika la kembali ke "Banckert",
Kecuali itu ia berpendapat bahiva ia harus memenuhi undangan Presiden untuk
makan malam. ia dapat bertukar pikiran dengan Presiden dan menikmati
pertunjukan kesenian angklung. (Lapian & Drooglever : 1992: 18)
2.Perundingan Kedua
Sementara itu,
Delegasi Indonesia pagi-pagi berkumpul ditempat kediaman Sjahrir untuk
mempersiapkan perundingan hari itu Pasal-pasal rancangan persetujuan dibahas
dan direncanakan alasan- alasan vang akan diusulkan. Perundingan hari itu
berjalan sangat alot dan berlangsung hampir 9 jam. Dua soal tidak dapat dicapai
kesepakatan, yakni soal Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dan soal
kedaulatan Negara Indonesia Serikat. Dalam soal pertama terutama Sjahrir,
mendesak supaya Belanda menerima usul bahwa Republik Indonesia mempunyai
wakil-wakilnya sendiri diluar negeri. Ia berusaha meyakinkan pihak Belanda
bahwa perwakilan ini terkait pada diakuinya Republik defacto, yang sudah di
setujui oleh pihak Belanda. Pihak Belanda sangat keras menolak tuntutan dengan
alasan bahwa dengarn demikian Republik dan Belanda dalam hubungan Internasional
akan sama derajattnya. Mengenai soal kedua juga tidak ada kesepakatan. Delegasi
Indonesia menuntut agar Indonesia Serikat menjadi negara berdaulat, bukan
negara merdeka, seperti dinyatakan dalam rancangan perjanjian yang di pakai
sebagai dasar perundingan. Malam itu undangan Presiden, Delegasi Belanda
berkunjung ke rumah Presiden di
Kuningan. Sjahrir tidak hadir karena sangat lelah dan karena mengira kunjungan
Belanda hanya merupakan kunjungan kehormatan.
Atas pertanyaan Persiden jalannya perundingan, Van Mook menjelaskan
bahwa tercapainya kesepakatan mengenai satu soal saja yakni usul Delegasi
Indonesia untuk mengubah kata "Merdeka" dibelakang kata
"berdaulat" artinya, yang diusulkan oleh Delegasi Indonesia adalah
agar NIS akan menjadi negara berdaulat. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa
selama perundingan Delegasi Belanda berkeberatan atas perubahan itu, tetapi
setelah dibicarakan antara mereka sendiri, mereka akhimya dapat menyetujui asul
pihak Indonesia.(Lapian & Drooglever : 1992: 19)
Van Mook tidak
mengutarakan bahwa masih ada soal lain yang belum di pecahkan, yakni perwakilan
Republik Indonesia diluar negeri. Tetapi la kemudian segera menanyakan kepada
Presiden apakah dengan diterimanya oleh pihak Belanda perubahan
"mereka" menjadi "Berdaulat" Presiden dapat menyetujui
Rancangan Perjanjian seluruhnya. Atas pernyataan itu Presiden menjawab dengan
nada antusias bahwa la dapat menyetujuinya. Pertemuan tersebut kemudian berakhir.
A.K.Gani dan Amir Sjarifuddin segera melaporkan kepada Sjahrir sangat
menyesalkan bahwa Presiden sudah menyetujui Rancangan Perjanjian Linggarjati,
padahal soal perwakilan Republik di luar negeri belum diputuskan. Tetapi
Sjahrir tunduk pada keputusan Presiden. Maka waktu Schemerhorn datang dan
mengusulkan untuk diadakan rapat pleno dan diketuai Killearn, Sjahrir pun
menyetujuinya. Rapat pleno diadakan pukul 10.30 malarn dengan Killearn sebagai
ketua rapat yang menyatakan kegembiraannya atas tercapainya kesepakatan kedua
Delegasi.(Lapian & Drooglever : 1992: 9)
Hari berikutnya
tanggal 13 Nopember, diadakan rapat antara kedua Delegasi. Sebelumnya Sjahrir
telah bertemu dengan Presiden Soekarno yang tampak santai. Ia hanya mengusulkan
agar dimasukan dalam rancangan perjanjian satu pasal yakni pasal mengenao
arbitrase yang diterima oleh Schermerhom. Dengan dimasukannya pasal arbitrase
terbukti pada dunia luar bahwa Republik Indonesia dan Negara Belanda sederajat.
Komisi Jenderal kemudian berangkat ke Jakarta.
Pagi tanggal 15 Nopember diadakan rapat antara kedua delegasi di Istana
Rijswijk. Walaupun begitu, Perundingan Linggarjati berlangsung juga pada
tanggal 15 November 1946. Dalam perundingan tersebut, Indonesia diwakili oleh
Sutan Syahrir, sedangkan Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn. Sebagai
penengah adalah Lord Killearn dari Inggris.(Lapian & Drooglever : 1992: 20)
ISI POKOK PERSETUJUAN
LINGGARJATI
Belanda mengakui
secara de fakto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi
Sumatra, Jawa, Madura.
Republik Indonesia
dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, yang
salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
Republik Indonesia
Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda
selaku ketuanya.
Wilayah RIS dalam kesepakatan tersebut
mencakup daerah bekas Hindia Belanda yang terdiri atas: Republik Indonesia,
Kalimantan, dan Timur Besar. Persetujuan tersebut dilaksanakan pada 15 November
1946 dan baru memperoleh ratifikasi dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
pada tanggal 25 Februari 1947 yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di
Istana Negara, Jakarta. Hasil Perjanjian Linggarjati memiliki kelemahan dan
keuntungan bagi Indonesia. Kelemahannya, bila ditinjau dari segi wilayah
kekuasaan, daerah RI menjadi sempit. Tetapi bila ditinjau dari segi
keuntungannya, kedudukan Indonesia di mata internasional semakin kuat karena
banyak negara seperti Inggris, Amerika, dan negara-negara Arab mengakui
kedaulatan negara RI. Hal ini tidak terlepas dari peran politik diplomasi
Indonesia yang dilakukan oleh Sutan Syahrir, H. Agus Salim, Sujatmoko, dan Dr.
Sumitro Joyohadikusumo dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). (A.A Gede
agung : 1995 : 177)
Pro dan Kontra di
kalangan masyarakat Indonesia Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra
di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai
Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai
tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan
Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan
permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana
bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah
mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati. Pelaksanaan hasil
perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur
Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi
dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer
Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia
dan Belanda.
2.3 Peranan tokoh-tokoh Indonesia di balik layar
prjanjian Linggarjati
SJAHRIR
Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet
Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP
sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem
multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik
pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa
rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.
Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa
revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan
demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari
cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan
propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal,
suka membunuh, merampok, menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda, melalui
NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang
Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Syahrir menginisiasi penyelenggaraan
pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan
luar negeri.
Selain mematahkan
propaganda dengan menginisiasi penyelenggaraan kesenian, Sutan Syahrir juga
melakukan diplomasi beras yang aktif di mulai sejak April 1946. Walaupun pada
saat itu keadaan Indonesia masih sangat papa, Syahrir tetap bersikukuh untuk
mengirimkan 500.000 ton beras ke India yang sedang dilanda bencana kelaparan.
Sebagai gantinya beras tersebut ditukar dengan obat-obatan dan tekstil.
Jawaharlal Nehru, yang terpukau oleh uluran tangan Sjahrir, lantas mengadakan
Asians Relations Conference di New Delhi dan mengundang Sjahrir. Diplomasi ini
ternyata membawa dampak positif bagi Indonesia. Selain mendapatkan “kawan”,
Indonesia dinilai semakin eksis dalam pergaulan Internasional.
Peranan Mr. Soesanto
Tirtoprodjo
Mr. Soesanto Tirtoprodjo (Solo, Jawa Tengah,
1900 - 1969) adalah negarawan Indonesia yang pernah duduk sebagai Menteri
Kehakiman dalam enam kabinet yang berbeda, mulai Kabinet Sjahrir III sampai
Kabinet Hatta II. Sebagai orang yang duduk dalam sebuah cabinet pemerintahan
tentunya Mr. Soesanto Tirtoprodjo, memiliki kewajiban dan kewenangan dalam
mengikuti perjanjian Linggarjati, karena selain sebagai Mentri kehakiman dalam
kabiner narsi ia juga terkenal sebagai tokh pergerakan nasional. Sebagai tokoh
pergerakan Nasional Mr. Soesanto Tirtoprodjo bergabung Partai Indonesia Raya di
Surabaya dan turut terlibat sebagai pengurus partai. Setelah merdeka, Soesanto
berkecimpung dalam pemerintahan sebagai Bupati Ponorogo dan residen Madiun
(1945-1946) serta Menteri Kehakiman (1946-1950).
Pada saat di
tandatanganinya isi perjanjian Linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana
Rijswijk, sekarang Istana Merdeka, Jakarta. Dimana perjanjian Linggajati ini
dari pihak RI ditandatangani oleh Sutan Sjahrir, Mr.Moh.Roem, Mr.Soesanto
Tirtoprodjo, dan A.K.Gani, sedangkan dari pihak Belanda ditandatangani oleh
Prof.Schermerhorn, Dr.van Mook, dan van Poll. Dalam isi perjanjian itu
tercantum bahwa secara de pacto Belanda mnegakui Republik Indonesia dengan
wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. Republik Indonesia
dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan
nama RIS, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia. Republik
Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu
Belanda selaku ketuanya.
Dengan demikin Mr.
Soesanto Tirtoprodjo yang saat itu menjabat sebagai mentri kehakiman, merupakan
salah satu orang yang berperan dalam perjanjian Linggarjati, selain orang yang
mengikuti (delegasi Indonesia) ia juga termasuk salah satu orang yang ikut
menandatanganni isi perjanjian Linggarjati, walaupun memang pada saat itu tidak
semua cabinet menyetujui isi perjanjian dengan berbagai alasan. Dengan ikut
menandatanganni isi perjanjian berarti Mr. Soesanto Tirtoprodjo merupakan orang
yang bertanggung jawab dalam tugasnya. Sebagai orang yang bertanggung jawab
tentunya, ia tidak akan melepaskan begitu saja apa yang terlah dilakukannya,
termasuk dalam perjanjian Linggarjati, Mr. Soesanto Tirtoprodjo tetap
menandatanganinya walaupun dalam tekanan orang lain yang tidak mau menerima
hasil perjanjian Linggarjati.
3. Peranan A. K. Gani
A.K. Gani, seorang
yang di lahirkan di Sumatra Barat merupakan tokoh kemerdekaan Indonesia karena
beliau merupakan bagian dari susunan kabinet Syahril, yang mana A. K. Gani pada
saat itu menjabat sebagai anggota konstituante dan sekaligus delegasi Indonesia
dalam perundingan Lingarjati yang dilaksanakan di Kuningan Jawa Barat. Sebagai
delegasi tentunya ia akan memberikan sumbangan pemikiran dalam isi perundingan
yang disepakati kedua belah pihak baik oleh Delegasi Indoneisia maupun delegasi
Belanda. Pada saat di tandatanganinya isi perjanjian dilakukan di Jakarta, A.
K. Gani yang merupakan salah satu delegasi Indonesia dari empat tokoh yang
hadir dalam perundingan maka beliau juga ikut menandatanganinya, sebagai bentuk
tanggung jawab terhadap kesepakatan yang tellah dibuatnya sekalipun di dalam
tubuh Indonesia sendiri ada perpecahan, ada yang setuju dan ada yang tidak
dengan berbagai alasan yang diberikan masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar