Senin, 29 Juni 2015

perjanjian linggar jati

Perundingan Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah kedua negara pada 25 Maret 1947.
Latar Belakang[sunting | sunting sumber]
Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, Diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Misi pendahuluan[sunting | sunting sumber]
Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Jalannya perundingan[sunting | sunting sumber]
Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan[sunting | sunting sumber]
            Wikisumber memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:
Perjanjian Linggarjati

Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi:

Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia[sunting | sunting sumber]

Salah satu poster yang dipajang di Bangunan Cagar Budaya Gedung Perundingan Linggarjati berisikan himbauan pencegahan konflik akibat pro kontra masyarakat Indonesia terhadap hasil perundingan.
Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.

Pelanggaran Perjanjian[sunting | sunting sumber]
Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.






Delegasi-delegasi Belanda dan Indonesia dalam rapat pada hari ini telah mendapatkan kata sepakat tentang persetujuan di bawah ini, hal mana terbukti dari pemarapan naskah yang tersebut dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia masing-masing berlipat tiga.

Pemerintah Belanda,
dalam hal ini berwakilkan Komisi Jenderal,
dan
Pemerintah Republik Indonesia,
dalam hal ini berwakilkan Delegasi Indonesia,
oleh karena mengandung keinginan yang ikhlas hendak menetapkan perhubungan yang baik antara kedua bangsa, Belanda dan Indonesia, dengan mengadakan cara dan bentuk-bangun yang baru, bagi kerja-sama dengan sukarela, yang merupakan jaminan sebaik-baiknya bagi kemajuan yang bagus, serta dengan kukuh-teguhnya dari pada kedua negeri itu, di dalam masa datang, dan yang membukakan jalan kepada kedua bangsa itu untuk mendasarkan perhubungan antara kedua belah pihak atas dasar-dasar yang baru, menetapkan mupakat seperti berikut, dengan ketentuan akan menganjurkan persetujuan ini selekas-lekasnya untuk memperoleh kebenaran dari pada majlis-majlis perwakilan rakyatnya masing-masing.



Fatsal 1.


Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatra.

Adapun daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Serikat atau tentara Belanda dengan berangsur-angsur dan dengan kerja-sama antara kedua belah pihak akan dimasukkan pula ke dalam Daerah Republik. Untuk menyelenggarakan yang demikian itu, maka dengan segera akan dimulai melakukan tindakan yang perlu-perlu, supaya, selambatnya pada waktu yang disebutkan dalam pasal 12, termasuknya daerah-daerah yang terserbut itu telah selesai.



Fatsal 2.


Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia bersama-sama menyelenggarakan segera berdirinya sebuah negara berdaulat dan berdemokrasi, yang berdasarkan perserikatan, dan dinamai Negara Indonesia Serikat.



Fatsal 3.


Negara Indonesia Serikat itu akan meliputi daerah Hindia Belanda seluruhnya, dengan ketentuan, bahwa, jika kaum penduduk dari pada sesuatu bagian daerah, setelah dimusyawaratkan dengan lain-lain bagian daerah pun juga, menyatakan menurut aturan demokratis, tidak atau masih belum suka masuk ke dalam perserikatan Negara Indonesia Serikat itu, maka untuk bagian daerah itu bolehlah diwujudkan semacam kedudukan istimewa terhadap Negara Indonesia Serikat itu terhadap Kerajaan Belanda.



Fatsal 4.


(1) Adapun negara-negara yang kelak merupakan Negara Indonesia Serikat itu, ialah Republik Indonesia, Borneo dan Timur-Besar, yaitu dengan tidak mengurangi hak kaum penduduk dari pada sesuatu bagian daerah, untuk menyatakan kehendaknya, menurut aturan demokratis, supaya kedudukannya dalam Negara Indonesia Serikat itu diatur dengan cara lain.

(2) Dengan tidak menyalahi ketentuan di dalam pasal 3 tadi dan di dalam ayat ke (1) pasal ini, Negara Indonesia Serikat boleh mengadakan aturan istimewa tentang daerah ibu-negerinya.



Fatsal 5.


(1) Undang-undang Dasar dari pada Negara Indonesia Serikat itu ditetapkan nanti oleh sebuah persidangan pembentuk negara, yang akan didirikan dari pada wakil-wakil Republik Indonesia dan wakil-wakil sekutu lain-lain yang akan termasuk kelak dalam Negara Indonesia Serikat itu, yang wakil-wakil itu ditunjukkan dengan jalan demokratis, serta dengan mengingat ketentuan ayat yang berikut dalam pasal ini.

(2) Kedua belah pihak akan bermusyawarat tentang cara turut campurnya dalam persidangan pembentuk negara itu oleh Republik Indonesia, oleh daerah-daerah yang tidak termasuk dalam daerah kekuasaan Republik itu dan oleh golongan-golongan penduduk yang tidak ada atau tidak cukup perwakilannya, segala itu dengan mengingat tanggung-jawab dari pada Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia masing-masing.



Fatsal 6.


(1) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia untuk membela-perliharakan kepentingan-kepentingan bersama daripada Negeri Belanda dan Indonesia akan bekerja bersama untuk membentuk Persekutuan Belanda-Indonesia, yang dengan terbentuknya itu Kerajaan Belanda, yang meliputi Negeri Belanda, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao ditukar sifatnya menjadi persetujuan itu, yang terdiri pada satu pihak dari pada Kerajaan Belanda, yang meliputi Negeri Belanda, Suriname dan Curacao dan pada pihak lainnya dari pada Negara Indonesia Serikat.

(2) Yang tersebut di atas ini tidaklah mengurangi kemungkinan untuk mengadakan pula aturan kelak kemudian, berkenaan kedudukan antara Negeri Belanda dengan Suriname dan Curacao satu dengan lainnya.



Fatsal 7.


(1) Untuk membela peliharakan kepentingan-kepentingan yang tersebut di dalam pasal di atas ini, Persekutuan Belanda-Indonesia itu akan mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri.

(2) Alat-alat kelengkapan itu akan dibentuk kelak oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Negeri Indonesia Serikat; mungkin juga oleh majlis-majlis perwakilan negara-negara itu.

(3) Adapun yang akan dianggap kepentingan-kepentingan bersama itu ialah kerja-bersama dalam hal perhubungan luar-negeri, pertahanan dan, seberapa perlu keuangan, serta juga hal-hal ekonomi dan kebudayaan.



Fatsal 8.


Di pucuk Persekutuan Belanda-Indonesia itu duduk Raja Belanda. Keputusan-keputusan bagi mengusahakan kepentingan-kepentingan bersama itu ditetapkan oleh kelengkapan Persekutuan itu atas nama Baginda Raja.



Fatsal 9.


Untuk membela-peliharakan kepentingan-kepentingan Negara Indonesia Serikat di Negeri Belanda dan kepentingan-kepentingan Kerajaan Belanda di Indonesia, maka Pemerintah masing-masingnya kelak mengangkat Komisaris Luhur.



Fatsal 10.


Anggar-anggar Persekutuan Belanda-Indonesia itu antara lain-lain akan mengandung ketentuan-ketentuan tentang:

a). pertanggungan hak-hak kedua belah pihak yang satu terhadap yang lain dan jaminan-jaminan kepastian kedua belah pihak menetapi kewajiban-kewajiban yang satu kepada yang lain;

b). hal kewarganegaraan untuk warganegara Belanda dan warganegara Indonesia, masing-masing di daerah lainnya;

c). aturan cara bagaimana menyelesaikannya, apabila dalam alat-alat kelengkapan Kerajaan Belanda memberi bantuan kepada Negara Indonesia Serikat, untuk selama masa Negara Indonesia Serikat itu tidak akan cukup mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri;

d). pertanggungan dalam kedua bagian Persekutuan itu, akan ketentuan hak-hak dasar kemanusiaan dan kebebasan-kebebasan, yang dimaksudkan juga oleh Piagam Persekutuan Bangsa-Bangsa.



Fatsal 11.


(1) Anggar-anggar itu akan direncanakan kelak oleh suatu permusyawaratan antara wakil-wakil Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat yang hendak dibentuk itu.

(2) Anggar-anggar itu terus berlaku, setelah dibenarkan oleh majlis-majlis perwakilan rakyat kedua belah pihak masing-masingnya.



Fatsal 12.


Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia akan mengusahakan, supaya berwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-Indonesia itu telah selesai, sebelum tanggal 1 Januari 1949.



Fatsal 13.


Pemerintah Belanda dengan segera akan melakukan tindakan-tindakan agar supaya, setelah terbentuknya Persekutuan Belanda Indonesia itu, dapatlah Negara Indonesia Serikat diterima menjadi anggauta di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.



Fatsal 14.


Pemerintah Republik Indonesia mengakui hak orang-orang bukan bansa Indonesia akan menuntut dipulihkan hak-hak mereka yang dibekukan dan dikembalikan barang-barang milik mereka, yang lagi berada di dalam daerah kekuasaannya de facto. Sebuah panitya bersama akan dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan atau pengembalian itu.



Fatsal 15.


Untuk mengubah sifat Pemerintah Hindia, sehingga susunannya dan cara bekerjanya seboleh-bolehnya sesuai dengan pengakuan Republik Indonesia dan dengan bentuk-susunan menurut hukum negara, yang direkakan itu, maka Pemerintah Belanda akan mengusahakan, supaya dengan segera dilakukan aturan-aturan undang-undang, akan supaya sementara menantikan berwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-Indonesia itu, kedudukan Kerajaan Belanda dalam hukum negara dan hukum bangsa-bangsa disesuaikan dengan keadaan itu.



Fatsal 16.


Dengan segera setelah persetujuan itu menjadi, maka kedua belah pihak melakukan pengurangan kekuatan balatentaranya masing-masing.

Kedua belah pihak akan bermusyawarat tentang sampai seberapa dan lambat-cepatnya melakukan pengurangan itu; demikian juga tentang kerja-bersama dalam hal ketentaraan.



Fatsal 17.


(1) Untuk kerja-bersama yang dimaksudkan dalam persetujuan ini antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, hendak diwujudakan sebuah badan, yang terdiri dari pada delegasi-delegasi yang ditunjukkan oleh tiap-tiap pemerintah itu masing-masingnya, dengan sebuah sekretariat bersama.

(2) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, bila ada tumbuh perselisihan berhubung dengan persetujuan ini, yang tidak dapat diselesaikan denga perundingan antara dua delegasi yang terserbut itu, maka menyerahkan keputusan kepada arbitrage. Dalam hal itu persidangan delegasi-delegasi itu akan ditambah dengan seorang ketua bangsa lain, dengan suara memutuskan, yang diangkat dengan semupakat antara dua pihak delegasi itu, atau, jika tidak berhasil semupakat itu, diangkat oleh ketua Dewan Pengadilan Internasional.



Fatsal penutup.


Persetujuan ini dikarangkan dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia.

Kedua-duanya naskah itu sama kekuatannya.










2.1 Kedatangan Kembali Pihak Asing di Indonesia
2.1.1. Kedatangan Sekutu di Indonesia
Terbentuknya Perjanjian Linggarjati tidak dapat dilepaskan dari latar belakang Internasional. Dalam bulan-bulan terakhir peperangan di Pasifik, oleh Sekutu diputuskan bahwa yang diutamakan adalah penyerbuan Jepang. Penyerbuan itu ditugaskan kepada Jenderal Mac Arthur dilepaskan dari tanggung jawabnya atas sebagian besar dari wilayahnya, antara lain seluruh wilayah Hindi – Belanda , yang diserahkan kepada  Laksamana Mountbatten, bertanggung jawab atas Sumatra, ia segera, setelah Jepang menyerah, berniat menjalankan tugasnya. Akan tetapi Mac Arthur berkeberatan dan minta supaya Mountbatten menunggu sampai Jepang menandatangani dokumen dokumen penyerahan di Tokyo karena Mac Arthur khawatir satuan-satuan Jepang akan mengadakn perlawanan sebelum Jepang resmi menyerah. Para kepala staf Inggris di London setuju  dengan Mac Arthur. Jepang menandatangani dokumen-dokumen penyerahan pada tanggal 2 September 1945
Tetapi, pengiriman tentara Inggris ke Indonesia merupakan prioritas sangat rendah dalam daftar kegiatan Mountbatten. Tentara Inggris baru mendarat di Jakarta pada tanggal 26 September 1945. Tenggat waktu antara Proklamasi Kemerdekaan dan kedatangan tentara Inggris satu setengah bulan. Hal ini membawa 3 keuntungan bagi RI. Pertama, api revolusi membara di seluruh Indonesia. Kedua, memberi kesempatan kepada republic untuk mengorganisasi pemerintahnya dan menyusun kekuatan fisiknya. Ketiga, selama dimarkas besarnya di Kandy, Sri Langka, Mountbatten mulai menyadari bahwa informasi yang diterimanya dari sumber sumber Belanda mengenai keadaan di Indonesia sama sekali tidak cocok dengan kenyataan Van Mook, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, antara lain melaporkan bahwa kemerdekaan Indonesia di Proklamasikan oleh Panglima Tertinggi Jepang di Jawa bersama Ir Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945.
2.1.2  Kabinet Beel dan kegagalan Perundingan Hooge
Pada tanggal 17 Mei 1946 “Katholieke Volkspartij” (KVP-Partai Rakyat Katolik) memenangkan pemilihan umum di Negeri Belanda, kemudian pada bulan Juli 1946 bersama dengan “Partij van de Arbeid” (Partai Buruh) berkoalisi membentuk pemerintahan. Dr. Beel ditunjuk sebagai Perdana Menteri.
Sebelumnya, setelah pendaratan sekutu di Indonesia pada bulan September 1945, van Mook ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru menggantikan van Starkenborgh Stachouwer yang mengundurkan diri akibat berbeda pendapat dengan Logemann, Menteri Daerah Seberang Lautan, yang mengakui nasionalisme di Indonesia.
Kabinet Beel kemudian membentuk “Komisi Jenderal” pada tanggal 2 September 1946 dengan tujuan “sementara dikuasakan menjalankan wewenang-wewenang pemerintah agung untuk memajukan persiapan-persiapan suatu tertib hukum baru bagi Hindia Belanda”. Van Mook kemudian menulis surat kepada Menteri Daerah Seberang Lautan yang baru, Mr.J.A. Jonkman, pada tanggal 7 September 1946 bahwa ini adalah kesempatan yang ketiga, setelah akhir tahun 1945 dan April 1946, untuk mengadakan perundingan dengan pihak republik setelah dua perundingan sebelumnya menghasilkan kegagalan. Bahkan ia mengatakan, “Saya yakin bahwa ini adalah kesempatan terakhir” (Ide, 1983:34)
Mengenai pembentukan Uni-Indonesia Belanda bukan terbentuk pada Perjanjian Linggarjati namun didahului oleh perundingan di HogeVoluwe di Negeri Belanda yang dilaksanakan pada tanggal 14-25 April 1946, berdasarkan suatu rancangan yang disusun oleh Sjahrir, Perdana Mentri dalam Kabinet Sjahrir II.
 Sebelumnya tanggal 10 Februari 1946, sewaktu Sjahrir menjabat Perdana Mentri dalam Kabinet Sjahrir I, Van Mook telah menyampaikan kepada Sjahrir rencana Belanda yang berisi pembentukan negara persemakmuran Indonesia, yang terdiri atas kesatuan kesatuan yang mempunyai otonomi dari berbagai tingkat negara persemakmuran menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Bentuk politik ini hanya berlaku untuk waktu terbatas, setelah itu peserta dalam kerajaan dapat menentukan apakah hubungannya akan dilanjutkan berdasarkan kerjasama  yang bersifat sukarela.
Perundingan yang berlangsung di Hooge Voluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta Pihak Belanda tidak tersedia memberikan pengakuan de’facto kedaulatan RI atas Jawa dan Sumatera tetapi hanya jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul bagi pemerintahannya kepada pihak RI.

2.2 Perjanjian Linggarajati dan dampaknya bagi Indonesia
2.2.1 Isi Perjanjian Linggarjati
Seperti kebanyakan orang tahu Perundingan Linggarjati berlangsung juga pada tanggal 15 November 1946. Dalam perundingan tersebut, Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, sedangkan Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn. Sebagai penengah adalah Lord Killearn dari Inggris. yang di lakukan di wilaya Linggarjati ini ber isikan sebagai berikut :
1.       Pengakuan status de facto RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera oleh Belanda.
2.       Pembentukan negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat (RIS).
3.       Pembentukan Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala negara.
4.       Pembentukan RIS dan Uni Indonesia-Belanda sebelum 1 Januari 1949.

Wilayah RIS dalam kesepakatan tersebut mencakup daerah bekas Hindia Belanda yang terdiri atas: Republik Indonesia, Kalimantan, dan Timur Besar. Persetujuan tersebut dilaksanakan pada 15 November 1946 dan baru memperoleh ratifikasi dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 25 Februari 1947 yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Negara, Jakarta. (Lapian,1992:98)


2.2.2 Pro dan Kontra mengenai perundingan Linggarjati di kalangan elit Politik Indonesia
Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.
Selain itu juga hal ini membawa dampak kurang baik bagi Sjahrir. Ia dianggap terlalu banyak memberikan konsensi kepada Belanda terutama oleh anggota partainya sendiri. Pada akhirnya sebagian besar anggota Partai Sosialis di kabinet dan KNIP pun menarik dukungan terhadap Sjahrir pada tanggal 26 Juni 1947. Sjahrir mengembalikan mandat Perdana Menteri kepada Presiden Soekarno keesokan harinya. (Djoeir,1997:--)
Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa :
1.      Adanya keyakinan bahwa bagaimanapun juga jalan damai merupakan jalan yang paling baik dan aman untuk mencapai tujuan Bangsa Indonesia.
2.      Cara damai akan mendatangkan simpati dan dukungan internasional yang harus diperhitungkan oleh lawan.
3.      Keadaan militer Indonesia yang masih lemah jika menyetujui perundingan memungkinkan Indonesia memperoleh kesempatan untuk memperkuat militer.
4.      Jalan diplomasi dipandang sebagai jalan untuk memperjuangkan pengakuan kedaulatan dan penegakan Negara RI yang berdaulat.
2.2.3    Dampak Perjanjian Linggarjati
Hubungan Indonesia-Belanda tidak bertambah lebih baik. Perbedaan tafsiran terhadap pasal-pasal dalam naskah persetujuan Linggarjati menjadi pangkal perselisihan. Lebih-lebih setiap pihak Belanda secara terang-terangan melanggar gencatan senjata. Selanjutnya pada tanggal 27 Mei 1947 pihak Belanda melalui misi Idenburg menyampaikan nota kepada Pemimpin RI yang harus dijawab dalam 2 minggu. Isi nota tersebut adalah sebagai berikut:
·         Membentuk pemerintahan peralihan bersama
·         Hendaknya diadakan Garis Demiliterisasi
·         Perlunya sebagian Angkatan darat, Laut, dan udara kerajaan Hindu-Belanda tinggal di Indonesia tinggal indonesia untuk pembangunan suatu pertahanan yang modern.
·         Perlunya pembentukan alat kepolisian yang dapat melindungi kepentingan dalam dan luar negeri.

Pada tanggal 8 Juni 1947 pemerintah RI menyampaikan nota balasan yang isinya antara lain sebagai berikut:
·         Dalam masalah politik Pemerintah RI menyetujui pembentukan Negara Indonesia Timur walaupun tidak selaras dengan perjanjian Linggarjati
·         Dalam bidang militer pemerintahan  RI menyetujui  demiliterisasi antara daerah demarkasi kedua belah pihak. Keamanan dalam zona Bebas Militer tersebut akan diserahkan kepada polisi.
·         Mengenai Pertahanan Indonesia Serikat harus dilakukan oleh tentara nasional Masing-masing sehingga gendarmerie (pertahanan bersama) ditolak.

Nota balasan yang disampaikan oleh Syahrir tersebut dianggap terlalu lemah. Akibatnya semakin banyak partai-partai dalam KNIP yang menentangnya, bahkan partainya sendiri juga melepaskan dukungannya. Akhirnya Kabinet Syahrir menyerahkan kembali mandatnya kepada presiden.
Sementara itu dengan adanya perbedaan penafsiran terhadap isi Perjanjian Linggarjati  itu, pihak Belanda melanjutkan aksinya dengan melakukan Agresi Militer pada tanggal 21 Juli 1947 pukul 00.00. Dalam waktu singkat Belanda berhasil menerobos garis pertahanan TNI. Kekuatan TNI  dengan organisasi dan peralatan yang sederhana tidak mampu menahan pukulan musuh yang serba modern. TNI menyadari bahwa sistem pertahanan linier tidak tepat untuk menghadapi situasi seperti itu.

2.2.3 Diplomasi jalur Promosi Indonesia ke Dunia luas
Dalam menghadapi masalah konflik Indonesia-Belanda maka Indonesia melakukan upaya untuk menarik dukungan internasional melalui PBB. Perjuangan mencari dukungan internasional lewat PBB dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tindakan langsung dilakukan dengan mengemukakan masalah Indonesia di hadapan sidang Dewan Keamanan PBB. Tindakan tidak langsung dilakukan melalui pendekatan dan hubungan baik dengan negara-negara yang akan mendukung Indonesia dalam sidang-sidang PBB. Negara-negara yang mendukung Indonesia antara lain sebagai berikut. Adapun upaya indonesia tersebut adalah sebagai berikut :
·         Membina hubungan baik dengan Australia saat pasukan dari negara tersebut terlibat dalam tugas AFNEI.
·         Membina hubungan baik dengan India yang dimulai dengan mengirimkan bantuan beras sejak bulan Agustus 1946.
·         Membina Hubungan baik dengan Liga Arab.
·         Mengadakan pendekatan dengan negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB.
Perjanjian Linggarjati ini merupakan awal dan menunjukan kesiapan bangsa Indonesia yang baru merdeka mampu menunjukan diri di muka dunia bahwa mereka siap menghadapi Belanda dengan berbagai cara baik jalan keras atau diplomasi.





2.1 Proses terjadinya perundingan Linggarjati
 Di Indonesia awal diplomasi dimulai pada saat adanya Vacuum of Power di Asia Tenggara, sewaktu menyerahnya Jepang. Kemudian Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Sesuai teori berdirinya sebuah negara, maka harus ada warga negara, wilayah, pemerintah, dan pengakuan dari negara lain. Ketiga unsur pertama sudah ada, tinggal pengakuan dari negara lain. Dapat dikatakan perjanjian Linggarjati merupakan salah satu strategi Indonesia untuk memperkokoh eksistensinya di dunia internasional dan menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia itu nyata adanya. Terbentuknya Perjanjian Linggarjati tentunya tidak dapat dilepaskan dari latar belakang internasional dan nasional. Keadaan dunia pasca perang Pasifik dapat dikatakan masih belum stabil. Sekutu mulai berdatangan untuk menarik mundur seluruh pasukan Jepang yang ada dalam kawasan Hindia-Belanda, yang awalnya dipimpin oleh Jenderal Mac Arthur, lalu kemudian diserahkan oleh Laksamana Mountbatten. Pengiriman Tentara Inggris ke Indonesia dapat dikatakan relatif lama, yakni pada tanggal 26 September 1945 atau satu setengah bulan sejak diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Namun dibalik itu, justru keadaan seperti inilah yang menguntungkan Indonesia. Pertama, api revolusi membara di seluruh Indonesia. Kedua, hal ini memberi kesempatan kepada Indonesia untuk mengorganisasi pemerintahnya dan menyusun kekuatan fisiknya. Dan ketiga, Laksamana Mountbatten menyadari bahwa keadaan yang dilaporkan oleh pihak Belanda tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Akhirnya, berdasarkan laporan dari para informan Inggris, Laksamana Mountbatten mengetahui bahwa telah berkobarnya semangat nasionalisme yang sangat tinggi pemuda-pemuda Indonesia untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia seutuhnya. Selain itu, Mountbatten juga menyadari bahwa Indonesia dan Belanda sedang bersitegang mengenai permasalahan itu. Oleh karenanya, Mountbatten menentukan garis kebijakan, yakni tentara Inggris tidak akan campur tangan dalam perselisihan politik RI dan Belanda (seperti di tuntut Belanda). Tugas tentara Inggris sebenarnya adalah sebagai Recovery of Allied Prisoners of War Internees (RAPWI), terbatas pada pembebasan tahanan-tahanan sekutu, sipil, militer, serta memerintahkan penyerahan tentara Jepang, melucuti dan mengembalikan mereka ke Jepang . Walaupun begitu, pemerintah Hindia-Belanda tetap berusaha membantu supaya pihak Belanda dan Pihak Indonesia mencapai persetujuan Politik. Segera setelah satuan-satuan tentara Inggris mendarat, Inggris dibawah Jendral Sir Philip Christison pimpinan AFNEI (Allied Forces In the Nederland East Indies). Dalam menjalankan tugasnya melucuti tentara Jepang, meminta bantuan para pemimpin Indonesia sebenarnya dianggap bertentangan dengan instruksi yang diberikan/diperoleh, yaitu jadinya mengakui Indonesia sebagai negara yang legal/merdeka. .(Lapian & Drooglever : 1992: 5)
Pada 14 November 1945, sistem presidensial diubah menjadi sistem parlementer. Sjahrir diangkat sebagai perdana menteri pertama. Tak berapa lama setelah pengangkatan Sjahrir, Inggris mengajak berunding. Namun sayangnya kabinet Sjahrir menjawab dengan maklumat, bahwa Indonesia tidak sudi berunding selama Belanda berpendirian masih berdaulat di Indonesia. Menanggapi reaksi dari Indonesia, Belanda lalu memblokade Jawa dan Madura. Tapi Sjahrir melakukan diplomasi cerdik. Meskipun dilanda kekurangan pangan, Sjahrir memberikan bantuan beras ke India pada Agustus 1946. Tindakan Sjahrir ini membuka mata dunia. Semula Belanda enggan melakukan kontak dengan pihak Republik karena paksaan Inggris karena serta opini dunia, Belanda dengan berat hati terpaksa menghadapi Indonesia di meja perundingan.
Seperti bermain catur, sedikit demi sedikit Sjahrir terus mencoba menekan pemerintah Belanda melalui diplomasi. Ia terus-menerus mengupayakan agar Indonesia dan Belanda duduk di meja perundingan. Kesempatan pertama datang dalam perundingan di Hoge Veluwe, Belanda, 14-16 April 1946. Ketika itu Indonesia mengajukan tiga usul: pengakuan atas Republik Indonesia sebagai pengemban kekuasaan di seluruh bekas Hindia Belanda, pengakuan de facto atas Jawa dan Madura, serta kerja sama atas dasar persamaan derajat antara Indonesia dan Belanda. Usul itu ditolak Belanda. .(Lapian & Drooglever : 1992: 9)
Peluang berunding dengan Belanda terbuka lagi ketika Inggris mengangkat Lord Killearn sebagai utusan istimewa Inggris di Asia Tenggara, sekaligus penengah konflik Indonesia-Belanda. Konsulat Inggris di Jakarta mengumumkan, selambat-lambatnya pada 30 November 1946 tentara Inggris akan meninggalkan Indonesia . Kabinet baru Belanda kemudian mengutus Schermerhorn sebagai Komisi Jenderal untuk berunding dengan Indonesia. Schermerhorn dibantu tiga anggota: Van Der Poll, De Boer, dan Letnan Gubernur Jenderal H.J. Van Mook. .(Lapian & Drooglever : 1992: 10)
Perjanjian Linggarjati didahulukan oleh perundingan di Hoge Voluwe. Negeri Belanda dari tanggal 14 sampai dengan 24 April 1946 berdasarkan suatu rancangan yang disusun oleh Sjahrir, perdana menteri dalam Kabinet Sjahrir II.  Sebelumnya tanggal 10 Februari 1946, sewaktu Sjahrir menjabat perdana menteri dalam Kabinet Sjahnr I, Van Mook telah menyampaikan kepada Sjahrir rencana Belanda, yang berisi pembentukan negara persemakmuran Indonesia, yang terdiri atas kesatuan-kesatuan yang mempunyai otonomi dari berbagai tingkat negara persemakanuran mejadi bagian dari Kerajaan Belanda. Bentuk politik ini hanya berlaku untuk waktu terbatas, setelah itu peserta dalam Kerajaan dapat menentukan apakah hubungannya akan dilanjutkan berdasarkan kerja sama yang bersifat sukarela.
Sementara itu pernerintah Inggris mengangkat seorang Diplomat tingkat tinggi. Sir Archibald Clark Kerr (yang kemudian diberi gelar Lord Inverchapel), untuk bertindak sebagai ketua dalam perundingan Indonesia-Belanda. .(Lapian & Drooglever : 1992: 11)
Segera setelah terbentuknya Kabinet Sjahrir II, Sjahrir membuat usul-usul tandingan. Yang penting dalam usul itu ialah bahwa (a) Republik Indonesia diakui sebagai negara berdaulat yang meliputi dacrah bekas Hindia-Belanda, dan (b) antara negeri Belanda dan RI dibentuk federasi. Jelaslah bahwa usul ini bertentangan dengan usul Van Mook.  Setelah diadakan perundingan antara Van Mook dan Sjaiuir dicapai kesepakatan ;
Rancangan persetujuan diberikan bentuk sebagai Perjanjian Indonesia Intemasional dengan  "Preambule"
Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de facto republik atas Pulau Jawa dan Sumatra
 Pada rapat pleno tanggal 30 Maret 1946 Van Mook menerangkan bahwa rancangannya merupakan usahanya pribadi tanpa diberi kekuasaan oleh pemerintahanya. Maka diputuskan bahwa Van Mook akan pergi ke negeri Belanda, dan kabinet rnengirim satu delegasi ke Negeri Belanda yang terdiri atas Soewandi. Soedarsono dan Pringgodigdo. Perundingan diadakan tanggal 14-24 April 1946. Pada hari pertama ternyata perundingan sudah mencapai deadlock, Belanda menganggap dirinya sebagai negara pemegang kedautalatanatas Indonesia. Perundingan di Hoge Voluxve merupakan  kegagalan  akan tetapi pengalaman yang diperoleh dan perundingan Hoge Voluwe ternyata berguna dalam perianjian Linggarjati. .(Lapian & Drooglever : 1992: 12)
Perundingan politik dimulai di Jakarta, tempatnya bergantian antara Istana Rijswijk (sekarang Istana Negara) tempat penginapan anggota Komisi Jenderal dengan tempat kediaman resmi Sjahrir, jalan Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi) 56. Perundingan di tempat kediaman Sjahrir dipimpin oleh Sehermerhom sdangkan perundingan di Istana Rijswijk dipimpin oleh Sjahrir. Sebagai dasar perundingan dipakai rancangan persetujuan yang merupakan kombinasi rancangan Delegasi Belanda. Perundingan di Jakarta diadakan empat kali dengan yang terakhir tanggal 5 Nopember. Delegasi Republik Indonesia kemudian menuju ke Yogya untuk memberi laporan kepada Presiden, Wakil Presiden dan Kabinet dan setelah itu berangkat ke Linggarjati. Lord Killearn datang pada tanggal 10 nopember dengan menumpang kapal perang inggris HMS “Verayan Bay”. Beliau diangkat dengan perahu motor ALRI ke Cirebon, diantar dengan mobil Linggarjati dan ditempatkan di rumah yang terletak dekat rumah penginapan Sjahrir.Angkatan Laut Belanda telah mempersiapkan Kapal Perang H.M. “banchert” untuk dipakai sebagai tempat penginapan Delegasi Belanda. Menjelang kedatangan Delegasi Belanda. “Banckert” telah buang jangkar diluar pelabuhan Cirebon. Pada tanggal 11 Nopember Delegasi Belanda datang dengan kapal terbang “Catalina” dan dibawa ke “Banckert”. Seperti apa yang dilakukan satu hari sebelumnya perahu ALRI datang untuk menjemput Delegasi Belanda Komandan Banckert menolak dan minta Delegasi diangkat dengan perahu patroli “Banckert”. Hal ini ditolak oleh Komandan perahu motor ALRI. Akhirnya persoalan ini dipecahkan dengan diperkenankannya Delegasi Belanda diangkat perahu Patroli “Banckert” tetapi dikawal oleh perahu motor ALRI. .(Lapian & Drooglever : 1992: 17)
Insiden di atas menggambarkan kesulitan-kesulitan vang dihadapi oleh pejabat-pejabat Indonesia. Keterbatasan dihampir semua bidang seperti kendaraan, alat komunikasi, perumahan mengakibatkan hampir mustahil bagi Gubernur Jawa Barat, Residen Cirebon, Bupati Kuningan. Bupati Cirebon, dan Komandan Militer Daerah menjalankan tugasnya menjaga keamanan para pejabat tinggi Indonesia dan asing. Kenyauan bahwa selama penzndingan tidak terjadi insiden patut dikagumi dan dipuji Tentu saja disiplin rakyat dan pengertiarung-a tentang pentingnya perundingan sangat membantu para pejabat dalam menjalarkan tugasnya. .(Lapian & Drooglever : 1992: 18)


1.Perundingan Pertama
Karena insiden Banckert" seperti diuraikan diatas, Delegasi Belanda baru sampai di Linggarjati pukul 11:00 dan karena harus kembali ke "Banckert" jam setengah lima sore, maka perundingan hari itru hanya singkat saja, yakni tiga setengah jam. Schemerhom memutuskan tinggal di Linggarjati karena berpendapat akan .menimbulkan kesan kurang baik pada kalangan Indonesia jika la kembali ke "Banckert", Kecuali itu ia berpendapat bahiva ia harus memenuhi undangan Presiden untuk makan malam. ia dapat bertukar pikiran dengan Presiden dan menikmati pertunjukan kesenian angklung. (Lapian & Drooglever : 1992: 18)
2.Perundingan Kedua
Sementara itu, Delegasi Indonesia pagi-pagi berkumpul ditempat kediaman Sjahrir untuk mempersiapkan perundingan hari itu Pasal-pasal rancangan persetujuan dibahas dan direncanakan alasan- alasan vang akan diusulkan. Perundingan hari itu berjalan sangat alot dan berlangsung hampir 9 jam. Dua soal tidak dapat dicapai kesepakatan, yakni soal Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dan soal kedaulatan Negara Indonesia Serikat. Dalam soal pertama terutama Sjahrir, mendesak supaya Belanda menerima usul bahwa Republik Indonesia mempunyai wakil-wakilnya sendiri diluar negeri. Ia berusaha meyakinkan pihak Belanda bahwa perwakilan ini terkait pada diakuinya Republik defacto, yang sudah di setujui oleh pihak Belanda. Pihak Belanda sangat keras menolak tuntutan dengan alasan bahwa dengarn demikian Republik dan Belanda dalam hubungan Internasional akan sama derajattnya. Mengenai soal kedua juga tidak ada kesepakatan. Delegasi Indonesia menuntut agar Indonesia Serikat menjadi negara berdaulat, bukan negara merdeka, seperti dinyatakan dalam rancangan perjanjian yang di pakai sebagai dasar perundingan. Malam itu undangan Presiden, Delegasi Belanda berkunjung ke rumah  Presiden di Kuningan. Sjahrir tidak hadir karena sangat lelah dan karena mengira kunjungan Belanda hanya merupakan kunjungan kehormatan.  Atas pertanyaan Persiden jalannya perundingan, Van Mook menjelaskan bahwa tercapainya kesepakatan mengenai satu soal saja yakni usul Delegasi Indonesia untuk mengubah kata "Merdeka" dibelakang kata "berdaulat" artinya, yang diusulkan oleh Delegasi Indonesia adalah agar NIS akan menjadi negara berdaulat. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa selama perundingan Delegasi Belanda berkeberatan atas perubahan itu, tetapi setelah dibicarakan antara mereka sendiri, mereka akhimya dapat menyetujui asul pihak Indonesia.(Lapian & Drooglever : 1992: 19)
Van Mook tidak mengutarakan bahwa masih ada soal lain yang belum di pecahkan, yakni perwakilan Republik Indonesia diluar negeri. Tetapi la kemudian segera menanyakan kepada Presiden apakah dengan diterimanya oleh pihak Belanda perubahan "mereka" menjadi "Berdaulat" Presiden dapat menyetujui Rancangan Perjanjian seluruhnya. Atas pernyataan itu Presiden menjawab dengan nada antusias bahwa la dapat menyetujuinya. Pertemuan tersebut kemudian berakhir. A.K.Gani dan Amir Sjarifuddin segera melaporkan kepada Sjahrir sangat menyesalkan bahwa Presiden sudah menyetujui Rancangan Perjanjian Linggarjati, padahal soal perwakilan Republik di luar negeri belum diputuskan. Tetapi Sjahrir tunduk pada keputusan Presiden. Maka waktu Schemerhorn datang dan mengusulkan untuk diadakan rapat pleno dan diketuai Killearn, Sjahrir pun menyetujuinya. Rapat pleno diadakan pukul 10.30 malarn dengan Killearn sebagai ketua rapat yang menyatakan kegembiraannya atas tercapainya kesepakatan kedua Delegasi.(Lapian & Drooglever : 1992: 9)
Hari berikutnya tanggal 13 Nopember, diadakan rapat antara kedua Delegasi. Sebelumnya Sjahrir telah bertemu dengan Presiden Soekarno yang tampak santai. Ia hanya mengusulkan agar dimasukan dalam rancangan perjanjian satu pasal yakni pasal mengenao arbitrase yang diterima oleh Schermerhom. Dengan dimasukannya pasal arbitrase terbukti pada dunia luar bahwa Republik Indonesia dan Negara Belanda sederajat. Komisi Jenderal kemudian berangkat ke Jakarta.  Pagi tanggal 15 Nopember diadakan rapat antara kedua delegasi di Istana Rijswijk. Walaupun begitu, Perundingan Linggarjati berlangsung juga pada tanggal 15 November 1946. Dalam perundingan tersebut, Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, sedangkan Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn. Sebagai penengah adalah Lord Killearn dari Inggris.(Lapian & Drooglever : 1992: 20)

ISI POKOK PERSETUJUAN LINGGARJATI
Belanda mengakui secara de fakto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa, Madura.
Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
 Wilayah RIS dalam kesepakatan tersebut mencakup daerah bekas Hindia Belanda yang terdiri atas: Republik Indonesia, Kalimantan, dan Timur Besar. Persetujuan tersebut dilaksanakan pada 15 November 1946 dan baru memperoleh ratifikasi dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 25 Februari 1947 yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Negara, Jakarta. Hasil Perjanjian Linggarjati memiliki kelemahan dan keuntungan bagi Indonesia. Kelemahannya, bila ditinjau dari segi wilayah kekuasaan, daerah RI menjadi sempit. Tetapi bila ditinjau dari segi keuntungannya, kedudukan Indonesia di mata internasional semakin kuat karena banyak negara seperti Inggris, Amerika, dan negara-negara Arab mengakui kedaulatan negara RI. Hal ini tidak terlepas dari peran politik diplomasi Indonesia yang dilakukan oleh Sutan Syahrir, H. Agus Salim, Sujatmoko, dan Dr. Sumitro Joyohadikusumo dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). (A.A Gede agung : 1995 : 177)
Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati. Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.
2.3  Peranan tokoh-tokoh Indonesia di balik layar prjanjian Linggarjati
SJAHRIR
 Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan. Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Syahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.
Selain mematahkan propaganda dengan menginisiasi penyelenggaraan kesenian, Sutan Syahrir juga melakukan diplomasi beras yang aktif di mulai sejak April 1946. Walaupun pada saat itu keadaan Indonesia masih sangat papa, Syahrir tetap bersikukuh untuk mengirimkan 500.000 ton beras ke India yang sedang dilanda bencana kelaparan. Sebagai gantinya beras tersebut ditukar dengan obat-obatan dan tekstil. Jawaharlal Nehru, yang terpukau oleh uluran tangan Sjahrir, lantas mengadakan Asians Relations Conference di New Delhi dan mengundang Sjahrir. Diplomasi ini ternyata membawa dampak positif bagi Indonesia. Selain mendapatkan “kawan”, Indonesia dinilai semakin eksis dalam pergaulan Internasional.
Peranan Mr. Soesanto Tirtoprodjo
 Mr. Soesanto Tirtoprodjo (Solo, Jawa Tengah, 1900 - 1969) adalah negarawan Indonesia yang pernah duduk sebagai Menteri Kehakiman dalam enam kabinet yang berbeda, mulai Kabinet Sjahrir III sampai Kabinet Hatta II. Sebagai orang yang duduk dalam sebuah cabinet pemerintahan tentunya Mr. Soesanto Tirtoprodjo, memiliki kewajiban dan kewenangan dalam mengikuti perjanjian Linggarjati, karena selain sebagai Mentri kehakiman dalam kabiner narsi ia juga terkenal sebagai tokh pergerakan nasional. Sebagai tokoh pergerakan Nasional Mr. Soesanto Tirtoprodjo bergabung Partai Indonesia Raya di Surabaya dan turut terlibat sebagai pengurus partai. Setelah merdeka, Soesanto berkecimpung dalam pemerintahan sebagai Bupati Ponorogo dan residen Madiun (1945-1946) serta Menteri Kehakiman (1946-1950).
Pada saat di tandatanganinya isi perjanjian Linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk, sekarang Istana Merdeka, Jakarta. Dimana perjanjian Linggajati ini dari pihak RI ditandatangani oleh Sutan Sjahrir, Mr.Moh.Roem, Mr.Soesanto Tirtoprodjo, dan A.K.Gani, sedangkan dari pihak Belanda ditandatangani oleh Prof.Schermerhorn, Dr.van Mook, dan van Poll. Dalam isi perjanjian itu tercantum bahwa secara de pacto Belanda mnegakui Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama RIS, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
Dengan demikin Mr. Soesanto Tirtoprodjo yang saat itu menjabat sebagai mentri kehakiman, merupakan salah satu orang yang berperan dalam perjanjian Linggarjati, selain orang yang mengikuti (delegasi Indonesia) ia juga termasuk salah satu orang yang ikut menandatanganni isi perjanjian Linggarjati, walaupun memang pada saat itu tidak semua cabinet menyetujui isi perjanjian dengan berbagai alasan. Dengan ikut menandatanganni isi perjanjian berarti Mr. Soesanto Tirtoprodjo merupakan orang yang bertanggung jawab dalam tugasnya. Sebagai orang yang bertanggung jawab tentunya, ia tidak akan melepaskan begitu saja apa yang terlah dilakukannya, termasuk dalam perjanjian Linggarjati, Mr. Soesanto Tirtoprodjo tetap menandatanganinya walaupun dalam tekanan orang lain yang tidak mau menerima hasil perjanjian Linggarjati.
3. Peranan A. K. Gani

A.K. Gani, seorang yang di lahirkan di Sumatra Barat merupakan tokoh kemerdekaan Indonesia karena beliau merupakan bagian dari susunan kabinet Syahril, yang mana A. K. Gani pada saat itu menjabat sebagai anggota konstituante dan sekaligus delegasi Indonesia dalam perundingan Lingarjati yang dilaksanakan di Kuningan Jawa Barat. Sebagai delegasi tentunya ia akan memberikan sumbangan pemikiran dalam isi perundingan yang disepakati kedua belah pihak baik oleh Delegasi Indoneisia maupun delegasi Belanda. Pada saat di tandatanganinya isi perjanjian dilakukan di Jakarta, A. K. Gani yang merupakan salah satu delegasi Indonesia dari empat tokoh yang hadir dalam perundingan maka beliau juga ikut menandatanganinya, sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kesepakatan yang tellah dibuatnya sekalipun di dalam tubuh Indonesia sendiri ada perpecahan, ada yang setuju dan ada yang tidak dengan berbagai alasan yang diberikan masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar