Senin, 07 April 2014

Gejala Bahasa



GEJALA BAHASA
Oleh I Putu Mas Dewantara

            Gejala bahasa ialah peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata atau kalimat dengan segala macam proses pembentukannya. Gejala bahasa dalam bahasa Indonesia diantaranya adalah gejala analogi, gejala kontaminasi, gejala pleonasme, gejala hiperkorek, dan gejala-gejala lainnya.
1.      Gejala Analogi
              Analogi dalam bahasa artinya suatu bentukan bahasa yang meniru contoh yang sudah ada. Terbentuknya bentukan-bentukan baru tentu akan memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia. Hal ini tentu akan menguntungkan bagi bahasa yang tumbuh dan sedang berkembang.
        Tabel 1.  analogi dalam bahasa Indonesia
No
Kata/bentukan yang sudah lama dikenal
Keterangan
Kata/ bentukan baru
1.




2.





3.
Putra-putri, dewa-dewi



Hartawan, bangsawan




Budiman
Kata-kata itu berasal dari bahasa Sansekerta.
Fonem /a/: menyatakan jenis kelamin laki-laki, /i/ menyatakan perempuan.
-wan menyatakan lelaki, untuk menyatakan perempuan dipakai akhiran –wati.



-
Saudara-saudari, mahasiswa-mahasiswi, pemuda-pemudi, dsb.
Olahragawan, negarawan, sosiawan, pragawati, negarawati, sosiawati.
Seniman.

        Dalam bahasa Indonesia tak ada alat (bentuk gramatika) untuk menyatakan atau membedakan jenis laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, jenis kelamin dinyatakan dengan pertolongan kata lain yaitu kal laki-laki (pria) dan perempuan (wanita) di belakang kata-kata yang dimaksud. Contohnya, murid laki-laki, pelayan wanita. Untuk binatang atau tumbuhan dipakai kata jantan dan betina. Contohnya, kuda jantan, bunga betina.
        Pembatasan unsur a dan i yang bukan merupakan unsur asli bahasa Indonesia perlu dilakukan. Misalnya, di samping kata bapak tak perlu dibentuk katabapik sebab untuk ini sudah ada kata lain yaitu ibu. Jadi analogi dalam bahasa tak selalu berlaku mutlak.
            Analogi dari Bahasa Indonesia Asli
Dalam bahasa Indonesia ada kata-kata: dikemukakan, diketengahkan, atau mengemukakan, mengetengahkan. Beranalogi kepada kata-kata itu dibentuklah kata-kata baru: dikesampingkan, dikebumikan, dikedepankan, mengebelakangkan; tidak tergolong ke dalam bentukan dike-kan. Dari kata semasa dibentuk kata-kata baru; sedari, selagi sewaktu, semasih. Pada masa orde baru pun lahir kata pemersatu yang kemudian muncul kata-kata baru seperti pemerlain, pemerhati.
            Bentukan Analogi Hasil Suadaya Bahasa
Dari bahasa yang tersedia, orang mencoba membentuk dan melahirkan sesuatu yang baru. Misalnya dari bahasa Belanda “onrechtvaardigheid”, dibuatlah istilah ketidakadilan (onrechtvaardig: tidak adil, heid: morvem pembentuk kata benda menyatakan sifat). “heid” disejajarkan dengan imbuhan ke-an dalam bahasa Indonesia, sehingga lahirlah analogi bentukan ketidak-an seperti; ketidaktertiban, ketidakbecusan, ketidakberesan. Pembentukan kata-kata seperti ini sungguh sangat berhasil.
            Analogi yang Salah
Analogi yang salah sering terjadi karena kata bervokal satu dijadikan kata yang bervokal dua yang disebut diftongisasi. Contoh: teladan dijadikantauladananggota dijadikan anggauta. Mungkin hal tersebut terjadi karena pemakai bahasa menganalogikannya dengan pemungutan kata-kata bahasa Arab seperti: taubat, taufan, taurat. Dalam bahasa Indonesia kata-kata itu menjadi tobat, tofan, torat. Karena analogi itulah bentukan-bentukan teladan dan anggota dikembalikan kepada bentuk dengan au (tauladan, anggauta). Inilah yang dinamakan dengan analogi yang salah yang menimbulkan terjadinya hiperkorek.
Drs. Pernis (Badudu, 1985:50) mengatakan bahwa “analogi ialah faktor yang terpenting dalam setiap bahasa”. Hal ini nampaknya benar adanya banyak bentukan baru yang dianalogikan dari bentukan yang sudah ada.

2.      Gejala Kontaminasi
            Kontaminasi Kalimat
Kalimat yang rancu pada umumnya dapat kita kembalikan pada dua kalimat asal yang betul strukturnya. Gejala kontaminasi ini timbul karena dua kemungkinan, yaitu:
a.         orang kurang menguasai penggunaan bahasa yang tepat (menyusun kalimat atau frasa ataupun dalam penggunaan beberapa imbuhan sekaligus).
b.         kontaminasi terjadi tak disengaja. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan antara kompetensi dan performansi. Orang tahu dua  bentuk yang benar namun ketika ditulis atau diucapakan lahirlah sebuah bentuk penggabungan dua bentukan yang benar.
Contoh:
Kalimat rancu        
Kalimat asal
Di sekolah murid-murid dilarang tidak boleh merikok
-      Di sekolah murid-murid dilarang merokok
-      Di sekolah muri-murid tidak boleh merokok

            Kontaminasi Kata
Kata-kata seperti berulang kali dan sering kali adalah contoh kontaminasi kata yang sebenarnya kata-kata tersebut terbentuk dari kata-kata: berulang-ulang dan berkali-kali.
Berulang-ulang                                             
                                      Berulang kali          
Berkali-kali
           

di belakang hari
                                      di belakang kali
lain kali

jangan biarkan
                                      jangan boleh
tidak boleh
Kontaminasi kata terjadi karena adanya dua kata yang sebenarnya dapat berdiri sendiri yang ketika diucapkan dua kata tersebut diucapkan menjadi satu. 
            Kontaminasi Bentukan Kata
Adakalanya kita melihan bentukan kata dengan beberapa imbuhan (afiks) sekaligus yang memperlihatkan gejala kontaminasai. Contoh:
dipertinggi
                                  dipertinggikan
ditinggikan
Adanya bentukan dipertinggikan menyebabkan arti khususnya menjadi tak jelas.
menyampingkan
                                                  mengenyampingkan
mengesampingkan
Bentukan kontaminasi seperti contoh di atas dapat kita hindari apabila kita tau benar bagaiman bentukan yang semestinya dan tahu benar mengapa bentukan-bentukan yang semacam itu salah.
3.      Gejala Pleonasme
Pleonasme berasal dari bahasa latin “pleonasmus” dalam bahasa Grika “pleonazein” artinya kata yang berlebih-lebihan. Gejala pleonasme timbul karena beberapa kemungkinan antara lain:
a.       pembicara tak sadar bahwa apa yang diucapkan itu mengandung sifat yang berlebih-lebihan. Jadi, dibuatnya dengan tak sengaja;
b.       dibuat bukan karena tak sengaja, melainkan karena tak tahu bahwa kata-kata yang digunakan mengandung pengertian yang berlebih-lebihan;
c.       dibuat dengan sengaja sebagai salah satu bentuk gaya bahasa untuk memberikan tekanan pada arti (intensitas).
Contoh gejala pleonasme:
a.             dalam satu prasa terdapat dua atau lebih kata yang searti, misalnya:
Mulai dari waktu itu ia jera berjudi.
(mulai = dari; salah satunya saja dipakai).
b.            kata kedua sebenarnya tak perlu lagi karena pengertiannya sudah terkandung pada kaya yang mendahuluinya. Contoh: naik ke atas, turun ke bawah.
c.             Bentuk jamak yang dinyatakan dua kali, misalnya:
Telah dipamerkan sebanyak 50 buah lukisan-lukisan.
(50 = memberi pengertian jamak, lukisan-lukisan = menyatakan jamak ).
Dalam bahasa Belanda atau Inggris selalu ada “concord” (persesuaian bentuk) antara bilangan yang menyakan jumlah dengan bendanya. Hal itulah yang mempengaruhi lahirnya bentuk 50 lukisan-lukisan Contohnya: one child(seorang anak);vijf boeken (lima buah buku). Ini yang disebut “nominal concord”.
Dalam bahasa Indonesia, kata bendanya tidak dinyatakan dalam bentuk jamak. Dalam bahasa Arab, Belanda, dan Inggris, selain daripada “nominal concord” juga dikenal “verbal concord”, yaitu persesuaian jumlah kata benda dengan kata kerja. Dalam bahasa Arab malah ada bentuk dualis. Berikut contoh nominal concord
Bahasa Arab
Al-walada:ni sagi:rani             (Dua anak laki-laki itu kecil)
Contoh verbal concord
Bahasa Arab
Al-waladu yalabu.                   (Anak laki-laki itu sedang bermain-main)
Al-aula:du yaläbu:na.              (Anak-anak laki-laki itu sedang bermain-main)
Bahasa Inggris   
He goes.                                  (Dia (laki-laki) pergi)
We go.                                     (Kami pergi)
Bahasa Belanda
Ik ga naar school.                    (Saya pergi ke sekolah)
Wij gaan naar school.              (Kami pergi ke sekolah)
Pada beberapa kata pungut dalam bahasa Indonesia terjadi pergeseran arti. Misalnya, kata yang dalam bahasa asalnya menyatakan pengertian jamak, dalam bahasa Indonesia dipakai dalam pengertian tunggal. Contoh dalam bahasa Arab: unsur, alim, ruh (roh) menyatakan pengertian tunggal; anasir, ulama, arwah adalah bentuk jamaknya.
Jika dikatakan misalnya Gubernur Jawa Barat mengundang ulama-ulama seluruh Jawa Barat. Di sini tidak terjadi gejala pleonasme karena sudah dikatakan di atas, kata itu sudah mengalami pergeseran arti.

4.      Gejala Hiperkorek
H.D. van Pernis (dalam Badudu 1985 : 58)menyebutkan gejala hiperkorek sebagai proses bentukan betul dibalik betul. Maksudnya, yang sudah betul dibetul-betulkan lagi akhirnya menjadi salah. Gejala hiperkorek menunjukkan sesuatu yang salah, baik ucapan, maupun ejaan (tulisan).
4.1 /s/ dijadikan /sy/
      Tabel. 2  Alih huruf bahasa Arab ke bahasa Indonesia
No
Bahasa Arab
Bahasa Indonesia
Contoh
1
sin
/s/
Islam, salam, selamat, muslim, saat, sebab, insan.
2
syin
/sy/
-
3
tsa
/s/
missal, amsal, Senin, Selasa, hadis, salju.
4
shad
/s/
sehat, sahabat, nasihat, hasil, insaf, salat, pasal, maksud.

Hiperkorek terjadi karena kata-kata yang seharusnya tidak boleh dijadikan /sy/ dijadikan /sy/, misalnya, insaf dijadikan insyaf, sah dijadikan syah.


4.2  /h/ dijadiksn /kh/
Dalam bahasa Arab, ada dua macam bunyi laringal /h/. /h/ berdesah seperti pada kata-kata: sehat, nasihat, hasil, sahabat, dan /h/ bersuara seperti pada kata-kata: paham, hidayat, jihad, lahir. Dalam bahasa Indonesia kedua macam fonem ini dituliskan dengan h saja, jadi tidak dibedakan. Ucapannya pun tidak dibedakan.
Selain daripada itu ada fonem /kh/ yang dasar ucapannya langit-langit lembut (artikulasi velar) seperti yang terdapat pada kata-kata: Khalik, makhluk, khusus, khayal, akhir, khabar, ikhtisar. Dalam bahasa Indonesia, fonem itu dituliskan dengan kh menurut ejaan lama ch. Fonem /kh/ pada awal suku bisa dijadikan /k/ saja seperti pada kata-kata: kabar, akhir, ketubah, kesumat.
Karena pengaruh bahasa Sunda, maka huruf kh itu biasanya dituliskan orang sebagai h saja, jadi: makhluk, husus, hayal, akhir. Memang dalam ucapannya lebih cenderung pada bunyi /h/ dari pada /k/ walaupun /kh/ mempunyai satu daerah artikulasi yaitu velar. Bentuk mahluk, husus, ahir,bukanlah bentuk baku.
Hewan dari bahasa Arab haiwani ditulis dengan kh menjadi khewan, (dalam ejaan lama chewan) padahal dalam bahasa Arab h pada kata ini sama dengan h pada sehat, nasihat, sahabat.
4.3  /p/ dijadikan /f/
Dalam bahasa Arab, tak terdapat fonem /p/, yang ada hanyalah /f/. Sebaliknya dalam bahasa Melayu tak terdapat fonem /f/. Itu sebabnya pada umumnya kata-kata yang berasal dari bahasa Arab dengan f dijadikan p seperti: fikir – pikir, faham – paham, hafal – (h)apal, fasal – pasal, disesuaikan dengan fonem atau ucapan kita. Namun yang sering salah adalah kata-kata bahasa Indonesia yang berawalan fonem /p/ dijadikan /f/ contoh: pihak – fihak inilah yang disebut kasus hiperkorek.
4.4  /j/ dijadikan /z/
Fonem /z/ dari bahasa Arab, yang merupakan fonem asing dalam bahasa Melayu/Indonesia sering dijadikan /j/, seperti: zaman – jaman, izin – ijin, ziarah – jiarah, zambrut – jambrut. Fonem /z/ yang berasal dari bahas Belanda dijadikan /s/ dalam bahasa Indonesia, seperti: zak – saku; zaal – sal; zadel – sadel, zonder – sonder (= tanpa), zuster – suster.
Dalam bahasa Indonesia ada kita lihat yang sebaliknya dari yang disebutkan di atas ini yaitu /j/ dijadikan /z/ sehingga terjadi pula hiperkorek.
Misalnya:
            ijazah,     tidak boleh dijadikan izazah.
4.5  Gejala Hiperkorek dengan /au/ Pengganti /o,e/
Dalam bahasa Indonesia dewasa ini, kita jumpai penulisan kata-kata seperti:
            anggota  dijadikan  anggauta
            teladan  dijadikan   tauladan
            sentosa  dijadikan  sentausa
Contoh-contoh tersebut terjadi karena adanya analogi yang salah, yaitu dikira berasal dari bahasa Arab seperti tuabat, taurat, aurat, taufan. Kata-kata di atas tadi tidak berasal dari bahasa Arab, jadi bunyi /o/ atau /e/-nya jangan dikembalikan kepada bunyi /au/. Frekuensi penulisan anggauta memang sangat besar.
Kata-kata yang diambil dari bahasa daerah seperti sajen dan kabupaten, buro, dan windon adalah bentuk-bentuk yang disandikan: saji + an – sajen, ka + bupati + an – kabupaten, buru + an – buron, windu + an – windon. Namun sering orang mengucapkan kata sajenan dan buronanSajen dan burondianggap sebagai bentuk dasar.
Ada pula gejala monoftongisasi (dua vokal dijadikan satu vokal di dalam satu kata). Misalnya, syaitan, hairan, haiwan (dari bahasa Arab) menjadi setan, heran, hewan. Kata taubat dan taurat menjadi tobat dan torat.
4.6  Timbulnya Gejala Hiperkorek
Beberapa alasan yang menyebabkan timbulnya hiperkorek, adalah seperti di bawah ini.
1.  Orang tak tahu mana bentuk yang asli, yang betul, lalu meniru saja yang diucapkan/dituliskan oleh orang lain.
2.  Mungkin juga karena ingin gagah, ingin hebat, sehingga disamping apa yang sudah dibicarakan di atas, kita lihat juga orang menuliskan kata-kata sepertihadir, rela, fasal, hasil, batin, menjadi hadir, redla, fatsal, hatsil, bathin.
3.  Dari segi linguistik /f, kh, sy, z/ bukan fonem-fonem Indonesia asli. Itu sebabnya variasi antara f – p, kh – k – h, sy – s, z – j, tidak menimbulkan perbedaan arti. Karena sifatnya yang tidak fonemis itulah, maka variasi bentuk kembar seperti contoh di atas dimungkinkan dalam bahasa Indonesia.
Hanya bila oleh perbedaan fonem timbul perbedaan arti, haruslah orang berhati-hati.
Contohnya: sakit polio         - kertas folio
                    seni                    - zeni
                    khas Pasundan  - kas Pasundan

5.      Gejala-gejala lainnya.
5.1    Penambahan Fonem
Gejala penambahab fonem dapat dibedakan menjadi 3 macam: penambahan fonem di depan kata disebut protesis, penambahan fonem di tengah kata dissebut epentensis, dan penambahan fonem di akhir kata disebut paragog.
Tabel.3  Penambahan fonem
Keterangan
Sebelum
Sesudah
Gejala Protesis
mas, lang, sa,
stana (“sthana” Sans)
e m a s, e l a n g, a s a
i s t a n a
Gejala Epentensis
kapak
mukin (Min.)
k a m p a k
m u n g k i n
Gejala Paragog
hulubala
pelang (=belang)
h u l u b a l a n g
p e l a n g i

5.2    Penghilangan Fonem
Gejala penghilangan fonem dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu penghilangan fonem pada awal kata disebut afaresis, penghilangan fonem di tengah kata disebut sinkop, dan penghilangan fonem di akhir kata disebut apokop.
Tabel. 4 Penghilangan fonem
Keterangan
Sebelum
Sesudah
Gejala afaresis
Gejala sinkop
umudik, umundur
sahaya
klamarin
mudik, mundur
saya
kemarin
Gejala  apokop
tidak
kontakt
tida
kontak

5.3    Gejala Kontraksi
Gejala ini memperlihatkan adanya gejala satu atau lebih fonem yang dihilangkan. Kadang-kadang ada perubahan atau penggantian fonem.
Contoh:
tidak ada menjadi t i a d a
Matahari menjadi m a t a r i atau m e n t a r i
Bahaginda menjadi b a g i n d a
5.4    Gejala Metatesis
Gejala ini memperlihatkan pertukaran tempat satu atau beberapa fonem. Beberapa contoh:
berantas   menjadi  b a n t e r a s
korsi (bervariasi dengan kursi) menjadi k r o s i
kerikil menjadi k e l i k i r
5.5    Gejala Adaptasi
Adaptasi artinya penyesuaian. Kata-kata pungut yang diambil dari bahasa asing berubah bunyinya sesuai dengan penerimaan pendengaran atau ucapan lidah orang Indonesia. Sebagian kata-kata ini bentukan rakyat jelata.
Beberapa contoh:


Dari bahasa Belanda:
persekot   dari voorschot
sirop        dari stroop
Dari bahasa Arab:
perlu        dari  fardhu
mupakat  dari  muwafakat
Dari bahasa Portugis :
picu         dari  frecho
perseroaa dari parceiro
lemari      dari  almari
Dari bahasa Inggris:
petas(an) dari petards
riset         dari  research
Dari bahasa Sansekerta:
sendu (rindu sendu) dari sendhu
resi dari rsyi