Strategi Supply Chain
Strategi supply chain adalah kumpulan kegiatan
dan aksi strategis di sepanjang supply chain yang menciptakan rekonsiliasi
antara apa yang dibutuhkan pelanggan akhir dengan kemampuan sumber daya yang
ada pada supply chain tersebut.
Kriteria Produk yang Memenangkan Persaingan Pasar :
1.
Murah
2.
Berkualitas
3.
Tepat waktu
4.
Bervariasi
Kriteria Supply Chain yang Memenangkan Persaingan Pasar :
1.
Beroperasi secara efisien
2.
Menciptakan kualitas
3.
Cepat
4.
Fleksibel
5.
Inovatif
Karakteristik Produk Fungsional
1.
Siklus hidup panjang
2.
Variasi sedikit
3.
Volume per SKU tinggi
4.
Peramalan permintaan relatif mudah
(akurasi tinggi)
5.
Stockout rate rendah
6.
Kelebihan di akhir musim jual sangat
jarang terjadi
7.
Biaya penurunan harga jual mendekati
0%
8.
Marjin keuntungan per unit yang terjual
relatif rendah
Karakteristik Produk Inovatif
1.
Siklus hidup pendek
2.
Variasi produk banyak
3.
Volume per SKU rendah
4.
Peramalan permintaan sangat sulit
dilakukan
5.
Stockout rate bisa sampai 10-40 %
6.
Kelebihan di akhir musim jual sering
terjadi
7.
Biaya penurunan harga jual berkisar
10-25 %
8.
Marjin keuntungan per unit yang
terjual tinggi
Strategic Fit
Strategic fit adalah
kesesuaian antara karakteristik produk (atau pasar) dengan supply chain.
Supply chain responsif cenderung sesuai dengan produk inovatif sedangkan supply
chain efisien cenderung sesuai dengan produk fungsional.
Decoupling Point (DP)
Decoupling point adalah
titik temu sampai dimana suatu kegiatan bisa dilakukan atas dasar ramalan
(tanpa menunggu permintaan dari pelanggan) dan dari mana kegiatan harus ditunda
sampai ada permintaan pasti.
Order Penetration Point (OPP)
Order penetration point adalah
istilah lain dari decoupling
point.
Postponement
Postponement adalah
kebijakan menunda diferensiasi produk sampai ada pesanan dari pelanggan.
Sumber:
Pujawan, I. N. 2010. Supply Chain Management. Edisi Kedua.
Surabaya: Guna Widya.
Decoupling Point
Keputusan sampai di mana aktivitas produksi
bisa dilakukan tanpa menunggu permintaan definitif dari pelanggan merupakan
keputusan yang sangat penting bagi suatu supply chain dan akan secara langsung
berpengaruh terhadap kemampuannya untuk menciptakan efisiensi fisik maupun
kecepatannya untuk merespon pasar. Titik temu di mana suatu kegiatan bisa
dilakukan atas dasar ramalan dan dari mana kegiatan harus ditunda sampai ada
permintaan yang pasti dinamakan decoupling point.
Biasanya proses produksi secara umum dapat
diklasifikasikan menjadi empat bagian utama yaitu perancangan produk,
fabrikasi, perakitan, dan pengiriman. Sistem produksi yang dikenal dalam
keempat bagian tersebut adalah:
a. Make to Stock (MTS)
Pada MTS, produk akhir dibuat berdasarkan
ramalan. MTS akan cocok dengan produk-produk fungsional yang variasinya sedikit
dan ketidakpastian permintaannya relatif rendah.
b. Assembly to Order (ATO)
ATO adalah sistem di mana hanya kegiatan
perakitan yang menunggu pesanan dari pelanggan, sedangkan kegiatan lainnya
dilakukan berdasarkan ramalan. ATO cocok pada sistem yang memproduksi banyak
variasi produk dengan kesamaan komponen antarproduk yang cukup tinggi.
c. Make to Order (MTO)
Pada sistem MTO, kegiatan fabrikasi komponen
tidak bisa dikerjakan tanpa menunggu pesanan dari pelanggan karena setiap
pesanan mungkin membutuhkan jenis komponen yang berbeda-beda.
d. Engineer to Order (ETO)
Pada sistem ETO, produk baru dirancang
setelah ada pesanan dari pelanggan. Model ini pada umumnya digunakan jika
pelanggan membutuhkan produk dengan rancangan yang spesifik. Rancangan yang
spesifik ini bisa berimplikasi pada kebutuhan material dan urutan proses yang
berbeda untuk setiap produk.
Ada beberapa hal yang
mempengaruhi letak atau posisi dari decoupling point yakni :
1.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan
market seperti delivery lead time, permintaan produk yang berubah-ubah, volume
produk, customer order size dan frekuensi pemenuhan produk.
2.
Faktor-faktor yang berkaitan dengan
produk seperti modularity characteristic, customization opportunities dan
struktur produk
3.
Faktor-faktor yang berkaitan dengan
produksi seperti production lead time dan process flexibility
Sumber :
http://webkuro.blogspot.com/2011/03/strategi-supply-chain.html
gambar :
http://dazzdays.wordpress.com/2009/11/01/strategy-mass-customization-postponement-modular-product/
Dalam melakukan penempatan decoupling point ini terdapat trade off yang harus dipertimbangkan
seperti yang terlihat dalam gambar di bawah. Pada gambar tersebut dapat
dilihat bahwa semakin kekanan / hilir (semakin mendekati end
customer) maka semakin banyak pula jumlah persediaan yang
dibutuhkan namun disisi lain resiko yang ditimbulkan terhadap keusangan produk
juga semakin tinggi. Dan sebaliknya jika lokasi decoupling
point semakin kekiri
/ hulu (semakin mendekati supplier) maka semakin tinggi pula resiko kehilangan
kesempatan untuk memenuhi permintaan.
Postponement Strategy
Postponement Strategy adalah strategi
yang bertujuan untuk menunda beberapa aktivitas dalamsupply chain sampai customer demand diketahui. Hal ini dilakukan dengan
tujuan untuk menjaga adanya cost karena
penumpukan inventory dan juga meningkatkan respons terhadap permintaan
customer. Dalam strategi postponement, istilah decoupling point sangatlah
berkaitan erat.Decoupling point atau biasa
dikenal dengan customer order decoupling point (CODP) merupakan
lokasi dalam jaringan distribusi dimana inventori ditempatkan untuk membuat
entitas atau proses yang satu dengan yang lainya saling independen.
Posisi-posisi dari decoupling point ditunjukkan
dalam gambar 1. Dalam melakukan penempatan decoupling point ini terdapat
trade off yang harus dipertimbangkan seperti yang terlihat dalam gambar 2. Pada
gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin kekanan / hilir (semakin
mendekati end customer) maka semakin banyak
pula jumlah persediaan yang dibutuhkan namun disisi lain resiko yang
ditimbulkan terhadap keusangan produk juga semakin tinggi. Dan sebaliknya jika
lokasi decoupling point semakin kekiri /
hulu (semakin mendekati supplier) maka semakin tinggi pula resiko kehilangan
kesempatan untuk memenuhi permintaan.
Gambar 1. Generic Customer Order Decoupling point
Bila dikaitkan dengan tipe dari system produksi maka derajat
postponement akan mempengaruhi tiga hal yakni information complexity,
operational independence dan suppliier integration seperti yang dapat dilihat
pada gambar 3. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin murni penerapan
postponement maka semakin tinggi komplesitas dari informasi dan semakin harus
terjalin pula hubungan yang terintegrasi dengan supplier. Sedangkan sebaliknya
semakin murni penerapan postponement maka tingkat ketidaktergantungan antara
operasional yang satu dan yang lainnya semakin rendah.
Gambar 3. Degree of Postponement dalam dua
kontinum MTS dan BTO
Ada empat jenis postponement strategi
dalam supply chain adalah :
1. Purchasing postponement
Dalam strategi ini decoupling point terletak antara
supplier dan manufaktur. Artinya manufaktur menunda untuk membeli material dari
supplier khususnya untuk material yang mahal dan sifatnya fragile. Dalam hal
ini manufaktur ingin menekan biaya persediaan material. Sehingga material hanya
digunakan ketika manufaktur akan memproduksi produk saja. Adapun ilustrasinya
dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Ilustrasi Purchasing Postponement
2. Manufacturing Postponement
Dalam strategi ini decoupling point terletak pada
manufaktur dimana produk masih berupa produk setengah jadi. Produk yang
setengah jadi ini kemudian diproduksi ketika manufaktur telah mendapatkan order
dari cusrtomer. Ilustrasi dari strategi ini dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Ilustrasi Manufacturing Postponement
3. Logistic Postponement.
Dalam strategi ini decoupling point terdapat
pada distribution center. Tidak berbeda dengan
manufacturing postponement, pada Logistic postponement ini produk juga
masih dalam bentuk produk setengah jadi. Namun, demikian tentunya proses untuk
mencapai produk akhir tidak sebanyak proses yang harus dilakukan pada
manufacturing postponement misalnya saja proses perakitan atau packaging.
Ilustrasi dari logistic postponement ini dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Ilutsrasi Logistic Postponement
Modularity Product Design
Modularity product design adalah suatu
konsep product design yang berkaitan erat dengan pendekatan mass customization dan strategi
postponement. Modular product design memiliki pengertian mngembangkan suatu
produk dengan cara membagi produk tersebut menjadi beberapa komponen atau modul
yang saling independent. Hal ini dimaksudkan agar komponen-komponen tersebut
dapat dirakit atau digabungkan dengan berbagai cara untuk menghasilkan beberapa
variasi produk yang berbeda satu sama lainnya. Suatu produk dapat dikatakan
modular tegantung pada kesamaan fungsi dan desain fisik. Komponen-komponen yang
memiliki kesamaan dalam fungsi dan desain fisik ini biasa disebut sebagai
common component.
Ulrich mengatakan bahwa
modularity design dapat meningkatkan variasi dari produk namun dilain sisi juga
mengakibatkan delivery time menjadi lebih pendek. Selain itu modularity product
design juga memiliki keuntungan dalam menurunkan cost. Dalam product
development, modularity product design dapat dilakukan di berbagai level produk
yakni :
1.
Component Level
2.
Module Level
3.
Subsystem Level
4.
System Level
Daftar Pustaka :
1.
Pollard, D., Chuo,
S., Lee, B. (2008). Strategies for Mass
customization. Journal of Business & Economics Research
2.
Prasad, S., Tata, J.,
Madam, M.(2005). Build to order supply chain in developed and
developing countries. Journal of Operation Management PP.
551-568
ipoleksosbud adalah singkatan dari kata ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Istilah ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya apabila disingkat yaitu
menjadi ipoleksosbud. Akronim ipoleksosbud (ideologi, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya) merupakan singkatan/akronim resmi dalam Bahasa Indonesia.
Dalam
beberapa tahun terakhir ini, hampir semua perusahaan besar mengejar inisiatif
tentang keberlanjutan. Tekanan dari regulator, konsumen, karyawan dan pemegang
saham membuat hampir sebagian besar perusahaan menerapkan dan meningkatkan
inisiatif keberlanjutan ini di dalam sistem rantai pasokan (supply chain)
mereka. Kita mungkin tahu bahwa hampir setiap perusahaan mempunyai satu divisi
yang dinamakan Corporate Social Responsible (CSR). Salah satu komponen penting
dalam CSR adalah rantai pasokan yang berkelanjutan (Supply Chain
Sustainability / SCS). SCS ini harus memastikan bahwa perusahaan memenuhi
persyaratan dan harapan sosial, lingkungan dan ekonomi. SCS berbicara mengenai
suatu hal yang lebih besar dan lebih luas daripada pengiriman, persediaan dan
biaya yang biasanya merupakan fokus dari perusahaan.
Apa itu SCS ?
Supply Chain yang berkelanjutan (SCS) adalah pengelolaan
lingkungan, sosial dan ekonomi, dan menggalakkan praktik tata kelola yang baik
untuk seluruh siklus barang dan jasa. Tujuan dari SCS adalah untuk menciptakan,
melindungi dan meningkatkan nilai lingkungan, sosial dan ekonomi jangka panjang
dari semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam membawa produk dan layanan
ke pasar. (Sumber: UN Global Impact)
Supply Chain yang berkelanjutan (SCS) adalah masalah bisnis yang
mempengaruhi rantai pasokan atau jaringan logistik suatu organisasi dalam hal
lingkungan, risiko dan biaya limbah. Ada kebutuhan yang berkembang untuk
mengintegrasikan pilihan yang ramah lingkungan ke dalam manajemen rantai
pasokan. (Sumber: Wikipedia)
Mengapa SCS itu penting ?
Ada
berbagai alasan mengapa perusahaan harus menerapkan SCS. Alasan utama adalah
untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku
Selain itu juga untuk mendukung prinsip-prinsip internasional dalam melakukan
bisnis yang berkelanjutan. Dengan menerapkan SCS, perusahaan bertindak demi
kepentingan mereka sendiri, kepentingan stakeholder dan kepentingan masyarakat
pada umumnya. Dalam hal ini tentu saja perusahaan akan memperoleh manfaat
dengan jika menerapkan SCS. Dengan kata lain kita dapat mengatakan bahwa SCS
sudah tidak lagi menjadi satu hal yang optional melainkan merupakan suatu
keharusan karena SCS sangat penting untuk keberhasilan perusahaan.