Senin, 19 September 2016

Karier Pekerja Pada Pelayanan Ekonomi


Karier Pekerja Pada Pelayanan Ekonomi

B.    KARIR
Menurut Gibson dkk. (1995: 305)
Karir adalah rangkaian sikap dan perilaku yang  berkaitan dengan pengalaman dan aktivitas kerja selama rentang waktu kehidupan seseorang dan rangkaian aktivitas kerja yang terus berkelanjutan. Dengan demikian karir seorang individu melibatkan rangkaian pilihan dari berbagai macam kesempatan.

Menurut Greenhaus (1987: 5) yang dikutip oleh Irianto (2001:93) terdapat dua pendekatan untuk memahami makna karir, yaitu: pendekatan pertama memandang karir sebagai pemilikan (aproperty) dan/atau dari occupation atau organisasi. Pendekatan ini memandang bahwa karir sebagai jalur mobilitas di dalam organisasi yang tunggal seperti jalur karir di dalam fungsi marketing, yaitu menjadi sales representative, manajer produk, manajer marketing distrik, manajer marketing regional, dan wakil presiden divisional marketing  dengan berbagai macam tugas dan fungsi pada setiap jabatan.

Pendekatan kedua memandang karir sebagai suatu property  atau kualitas individual dan bukan occupation atau organisasi. Pendekatan ini memandang bahwa karir merupakan perubahanperubahan nilai, sikap, dan motivasi yang terjadi pada setiap individu/pegawai. Berdasarkan kedua pendekatan tersebut definisi karir adalah sebagai pola pengalaman berdasarkan pekerjaan (work-related experiences) yang merentang sepanjang perjalanan pekerjaan yang dialami oleh setiap individu/pegawai dan secara luas dapat dirinci ke dalam obyective events. Salah satu contoh untuk menjelaskannya melalui serangkaian posisi jabatan/pekerjaan, tugas atau kegiatan pekerjaan, dan keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan (workrelated decisions).

C.    PENGEMBANGAN KARIR
Dari pendapat para Pakar atau Ahli dibidang MSDM tentang pengembangan karier, berikut adalah definisi dari Pengembangan Karier.

Menurut Vithzal Rivai (2009 : 274 )
Pengembangan karir adalah proses peningkatan kemampuan kerja individu yang dicapai dalam rangka mencapai karir yang di inginkan.

Menurut T. Hani Handoko ( 2003 : 123 )
Pengembangan karir merupakan peningkatan pribadi yang dilakukan seseorang untuk mencapai suatu rencana karir.

Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan karir merupakan suatu proses dalam peningkatan dan penambahan kemampuan seseorang karyawan yang dilakukan secara formal dan berkelanjutan untuk mencapai sasaran dan tujuan karirnya.

Pengembangan karir merupakan tanggung jawab suatu organisasi yang menyiapkan karyawannya dengan kualifikasi dan pengalaman tertentu, agar pada waktu yang dibutuhkan organisasi sudah memiliki karyawan dengan kualifikasi tertentu. Jadi yang dilakukan karyawan adalah bekerja sebaik mungkin, mengikuti semua pelatihan yang diberikan, menunggu kesempatan kenaikan jabatan dan biasanya menurut saja menduduki jabatan yang ditawarkan oleh perusahaan.

Dari pengembangan karir pegawai, mempunyai tujuan dan manfaat yang dicapai oleh organisasi maupun individu (pekerja), antara lain:
·         Membantu pencapaian tujuan individu dan perusahaan.
·         Menunjukkan hubungan kesejahteraan karyawan, yang artinya perusahaan merencanakan karir karyawan dengan meningkatkan kesejahteraannya agar karyawan lebih tinggi loyalitasnya.
·         Membantu karyawan menyadari kemampuan potensi mereka, pengenmabangan karir membantu menyadarkan karyawan akan kemampuan untuk menduduki suatu jabatan tertentu sesuai dengan potensi dan keahliannya.
·         Memperkuat hubungan antara karyawan dan perusahaan.
·         Membuktikan tanggung jawab sosial, cara ini menciptakan iklim kerja yang positif dan karyawan menjadi lebih bermental sehat.
·         Membantu memperkuat pelaksanaan program perusahaan.
·         Menggiatkan analisis dari kesleuruhan karyawan.
·         Menggiatkan suatu pemikiran jarak waktu yang panjang, hal ini karena penempatan suatu posisi jabatan memerlukan persyaratan dan kualifikasi yang sesuai dengan posisinya.

Pengembangan akrir juga pada dasarnya memiliki manfaat yang hampir sama dengan apa yang dikemukakan diatas, namun manfaat pengembangan ini ada kekhususan karena sudah menyangkut kegiatan pendidikan dan latihan.

D.    PEKERJA
Buruh, Pekerja, Tenaga Kerja atau Karyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainya kepada Pemberi Kerja atau Pengusaha atau majikan.
Buruh/pekerja dibagi atas 2 klasifikasi besar:
·           Buruh profesional - biasa disebut buruh kerah putih, menggunakan tenaga otak dalam bekerja
·           Buruh kasar - biasa disebut buruh kerah biru, menggunakan tenaga otot dalam bekerja

E.     PELAYANAN
Pelayanan menurut Lovelock didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang menciptakan dan memberikan manfaat bagi pelanggan pada waktu dan tempat tertentu, sebagai hasil dan tindakan mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam diri atau atas nama penerima jasa tersebut.
Pengertian pelayanan menurut Kotler yaitu setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun.
Jadi pelayanan dapat didefinisikan sebagai tindakan atau kinerja yang menciptakan manfaat bagi pelanggan dengan mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam diri atau atas nama penerima. Sehingga pelayanan itu sendiri memiliki nilai tersendiri bagi pelanggan dalam hubungannya dengan menciptakan nilai-nilai pelanggan.
Christian Gronroos mengemukakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu :
1.    Menjaga dan memperhatikan , bahwa pelanggan akan merasakan karyawan dan sistem opersional yang ada dapat menyelesaikan problem mereka.
2.    Spontanitas, dimana karyawan menunjukkan keinginan untuk menyelesaikan masalah pelanggan.
3.    Penyelesaian masalah, karyawan yang berhubungan langsung dengan pelanggan harus memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas berdasarkan standar yang ada, termasuk pelatihan yang diberikan untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik.
4.    Perbaikan, apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan harus mempunyai personel yang dapat menyiapkan usah-usaha khusus untuk mengatasi kondisi tersebut.

Menurut Tjiptono, ada 4 karakteristik pokok pelayanan (jasa) yang membedakannya dengan barang , yaitu :
1.    Intangibility : tidak ada bentuk fisiknya sehingga tidak dapat dilihat, oleh karena itu pemasar menggunakan sejumlah alat untuk membuktikan kualitas pelayanan (jasa) yang ditawarkan.
2.    Inseparability : pelayanan (jasa) yang dijual tidak terpisahkan dari orang yang memasarkan.Pelayanan (jasa) diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang bersamaan. Service provider(penyedia jasa) dan customer (pelanggan) akan bertemu secara langsung maupun tidak langsung sehingga hal ini mempengaruhi kualitas pelayanan (jasa) dan karena itu pula tidak dapat distandarisasi.
3.    Variability : pelayanan (jasa) yang beragam sangat tergantung siapa yang menyajikan, oleh karena itu untuk dapat mengendalikan kualitas. Contoh, PLN melakukan seleksi yang ketat dan pelatihan yang tersistem bagi SDMnya, menstandarisasi proses kinerja pelayanan (jasa) di seluruh internal PLN, memonitor kepuasan pelanggan melalui survei atau kotak saran.
4.    Perishability : Karena sifatnya yang tidak dapat disimpan, maka PLN harus mampu menjaga kontinuitas pasokan listrik .
A.     EKONOMI
Ekonomi berasal dari  kata oikonomia (yunani) yang berarti Oikos = rumah tangga, nomos = aturan.
Ekonomi adalah mempelajari daya upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup di masyarakat dan meningkatkan kesejahtraannya.
Ekonomi adalah mempelajari persoalaan memilih kemungkinan pengggunaan sumber daya yang terbatas agar dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup yang tidak terbatas.

Jadi pengertian Karier Pekerja Pada Pelayanan Ekonomi adalah rangkaian sikap dan perilaku yang  berkaitan dengan pengalaman dan aktivitas kerja yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk menciptakan manfaat bagi pelanggan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup di masyarakat dan meningkatkan kesejahtraannya.

Contoh Pelayanan Ekonomi:
·         Pelayanan nasabah di Bank dengan menyediakan Customer Servise (CS), sehingga nasabah bank lebih mudah apabila ingin bertanya maupun mengalami kesulitan.
·         Pada aspek ekonomi kesehatan diberdayakannya obat generic dengan harga terjangkau agar dapat dibeli oleh semua kalangan. 

PEKERJAAN SOSIAL INDUSTRI

PEKERJAAN SOSIAL INDUSTRI

A.    Definisi Pekerjaan Sosial Industri
Pekerjaan sosial industri dapat didefinisikan sebagai lapangan praktik pekerjaan sosial yang secara khusus menangani kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan dan sosial di dunia kerja melalui berbagai intervensi dan penerapan metoda pertolongan yang bertujuan untuk memelihara adaptasi optimal antara individu dan lingkungannya, terutama lingkungan kerja. Dalam konteks ini, pekerja sosial dapat menangani barbagai kebutuhan individu dan keluarga, relasi dalam perusahaan, serta relasi yang lebih luas antara tempat kerja dan masyarakat (NASW, 1987) atau yang lebih dikenal dengan istilah tanggung jawab perusahaan (corporate social responbility)(suharto, 2006b).
Pekerjaan sosial industri menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai pekerjaan sosial dalam pemberian pelayanan , program, dan kebijakan bagi para pegawai dan keluarganya, manajemen perusahaan, serikat-serikat buruh dan bahkan masyarakat yang berada di sekitar perusahaan. Inti pekerjaan sosial industri meliputi kebijakan, perencanaan, dan pelayanan sosial pada persinggungan antara pekerja sosial dan dunia kerja. (Suharto 2006b). Kegiatan pekerjaan sosial industri antara lain adalah program bantuan (bagi pegawai), promosi keshatan , manajemen perawatan kesehatan, tindakan alternatif affirmatif (pembelaan), penitipan anak, perawatan lanjut usia, pengembangan sumber daya manusia (SDM), pengembangan organisasi, pelatihan, dan pengembangan karir, konseling bagi penganggur atau yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responbility), tunjangan-tunjangan pegawai, keamanan dan keselamatan kerja, pengembangan jabatan, perencanaan sebelum dan sesudah pensiun serta bantuan pemindahan kerja.
Konsep pekerjaan sosial industri lebih luas dari konsep tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) maupun masyarakat (community development). Pekerjaan sosial industri mencangkup pelayanan sosial yang bersifat internal dan eksternal, pekerjaan sosial industri melibatkan program-program bantuan bagi pegawai, seperti pelayanan konseling. Terapi kelompok, dan pengembangan sumber daya manusia. Secara eksternal, pekerjaan sosial industri, berwujud dalam berbagai bentuk program CSR termasuk di dalamnya strategi dan program pengembangan masyarakat, pengembangan kebijakan sosial, dan advokasi sosial.
Hubungan antara PSI, CSR, dan ComDev


                                                                                    





B.     Sejarah dan Perkembangan Pekerjaan Sosial Industri
Pekerjaan sosial industri terlahir dalam konteks pertumbuhan masyarakat industri. Pekerjaan sosial industri pertama kali muncul tahun 1800-an. Para pekerja sosial mulai terlibat di berbagai perusahaan Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat sekitar tahun 1890, sedangkan di Perancis tahun 1920. Pada masa itu, beberapa perusahaan di sana menyewa apa yang disebut ” sekretaris kesejahteraan”,”pekerja kesejahteraan industri” , atau ”sekretaris sosial”. Di Jerman, pekerja sosial atau sosiater industri ini dikenal dengan nama arbeiter sozial, sedangkan di Perancis dinamakan consul de familie atau conseillers du travail (Suharto, 2006ab).
Pekerja sosial memiliki peranan penting dalam pemberian pelayann sosial, baik yang bersifat pencegahan, penyembuhan maupun pengembangan dalam sebuah perusahaan. Tugas utamanya adalah menangani masalah kesejahteraan, kesehatan, keselamatan kerja, relaxi buruh dan majikan, serta perencanaan dan pengorganisasian program-program pengembangan masyarakat bagi komunitas yang ada di sekitar perusahaan (Suharto, 1997;2006b). Karena tugas utamanya menangani permasalahan sosial yang terkait dengan perusahaan, sosiawan industri ini dikenal pula dengan nama pekerja sosial kepegawaian atau occupational social worker (Strausser, 1989).
Menurut Freud, fokus pekerjaan sosial harus menyentuh dunia kerja, karena ia memberi tempat aman bagi seseorang dalam realitas sebuah komunitas manusia (human community). Pada tahun 1975, seorang pioneer pekerjaan sosial, Bertha Reynolds memberi komentar atas pendapat Freud yang dikemukakan pada tahun 1930 itu. Menurut Reynolds, ” tempat kerja yang merupakan sebuah persimpangan kehidupan (the crossroads of life) sering kali diabaikan sebagai sebuah komunitas manusia”.
Pernyataan Reynolds tidak lagi berlaku dewasa ini. Sekarang ini kita telah menyaksikan peningkatan yang luar biasa dalam hal perhatian dan kehadiran profesi pekerjaan sosial di dunia kerja. Semenjak tahun 1970-an., pekerja sosial telah menemukan bahwa tempat kerja bukanlah untuk bekerja saja, tetapi merupakan sebuah tempat yang penting dan unik di mana para pegawainya perlu diberi informasi mengenai pelayanan-pelayanan yang tidak selalu terkait dengan pekerjaan. Tempat kerja juga merupakan tempat dimana diagnosis aktual mengenai kebutuhan dan pelayanan sosial tertentu dapat diberikan. (suharto, 2006b)
Banyak pelayanan sosial di tempat kerja yang dapat diberikan pekerjaan sosial industri berkisar pada domain-domain fungsi-fungsi pekerjaan sosial tradisional seperti konseling bagi para pegawai. Dengan semakin canggihnya pendidiksn pekerjaan sosial dalam bidang industri, ekonomi, perencanaan, dan analisis kebijakan, asesmen keorganisasian, penelitian, pengembangan masyarakat, membuat pekarjaan sosial berkiprah dalam bidang industri yang bersifat non-tradisional, seperti pengembangan SDM dan organisasi, tanggung jawab sosial, dan filantropis perusahaan. Dengan demikian seperangkat pengetahuan pekerjaan sosial yang begitu luas yang berpadu dengan kebutuhan kompleks tempat kerja serta semakin meningkatnya individu yang bekerja di dunia bisnis yang memilih pekerjaan sosial sebagai ”karir kedua” telah meningkatkan peran pekerja sosial industri di dunia kerja.
Industri merupakan salah satu bidang garapan profesi pekerjaan sosial yang paling muda. Namun, akar sejarah pekerjaan sosial industri di AS beranjak pada akhir abad ke-18 dan semakin dikenal pada awal abad ke-19 saat di mana istilah ”kapitalisme kesejahteraan” (welfare capitakism) semakin populer dan saat ”sekretaris sosial” (social secretaries) dipekerjakan di perusahaan. Kapitalisme kesejahteraan merujuk pada berbagai tunjangan dan pelayanan sosial yang disediakan secara sukarela oleh majikan dalam upaya mensosialisasikan, menjaga, dan mengontrol tenaga kerja kasar yang sangat dibutuhkan pada masa revolusi industri (Suharto, 2006b)
Pemicu lain yang menyebabkan lahirnya pekerjaan sosial industri di AS yaitu berkaitan dengan upaya para majikan untuk mangatasi masalah yang diakibatkan oleh meningkatnya wanita yang memasuki dunia kerja setelah perang sipil. Menurut Brandes, permulaan pekerjaan sosial medis berakar pada suatu bentuk seksisme (sexism) akibat tumbuhnya bisnis dan majikan mengalami peningkatan pegawai wanita. Para majikan menghadapi kesulitan manangani masalah pegawai wanita yang ”ganjil” karena pada saat itu, fenomena pekerja wanita masih sangat sedikit. Sebagai solusinya yaitu dengan menyewa seorang spesialis. Spesialis yang pertama yaitu ibu Anggie Dunn yang disewa pada tahun 1875 sebagai sekretaris sosial pada perusahaan H.J. Heinz di Pittsburg ( Suharto, 2006b).
Dunn mungkin satu-satunya sekretaris kesejahteraan hingga tahun 1900 ketika banyak perusahaan mulai menyewa spesialis seperti dirinya. Pada tahun 1919, Biro Statistik Buruh melakukan survei terhadap 431perusahaan besar di As dan menemukan bahwa 141 perusahaan mempekerjakan sekretaris perusahaan secara full time, dan 154 perusahaan mempekerjakan sekretaris perusahaan secara kontrak dari luar perusahaan. Tahun 1926, sebesar 80% dari 1500 perusahaan besar di AS memiliki beberapa jenis program kesejahteraan (people, 1981). Meskipun belum tahun 1920 sebagian besar tahun lulusan sekolah tinggi pekerjaan sosial New York ( New York School of Social Work) bekerja pada settimng industri daripada setting lainnya, pekerja sosial yang terlatih secara profesional masih sedikit jmlahnya. Sebagian besar sekretaris kesejahteraan adalah wanita yang berpendidikan sebagai guru atau perawat. Salah seorang perawat, ibu Marrion T. Brockway disewa sebagai ”ibu kerumahtanggaan/ perawat tatalaksana” pada Perusahaan Asuransi Jiwa Metropolitan.
Pada pengumuman mengenai penunjukan dia tanggal 3 September 1919, fiske, presiden perusahaan itu menjelaskan tugas-tugas ibu Brockway sebagai berikut (Strausser, 1989;4):
Tugas ibu kerumahtanggaan akan dilakukan sesuai dengan sebutannya. Semua pegawai wanita dipersilakan berkonsultasi mengenai kesehatan kepegawaian, reklasi dengan rekan kerja, atasan atau anggota keluarga, dan urusan-urusan dan masalah-masalah pribadi jika ada. Ibu Brockway akan melihat kondisi-kondisi pelayanan sosial di kantor dan memberi nasihat berkenan dengan masalah-masalah di dalam dan luar perusahaan, penduduk sekitar perusahaan, serta dewan perusahaan ya g tinggal jauh dari para tetangga. Ide utama menunjuk seorang ibu kerumahtanggaan adalah para jurutulis wanita dapat memperoleh layanannya, meskipun ibu Brockway dapat pula memeberi nasihat pada jurutulis pria.  Usia dewasa, pengalaman luas, kecerdasan, dan kapasitasnya bersimpati, membuat ibu brockway cocok bagi pegawai wanita maupun pria. Dan semua juru tulis kita menjadi senang berkonsultasi dengan dia.
Dalam garis besar Carter mengelompokkan peranan sekretaris kesejahteraan ke dalam empat bidang tugas yang mencangkup(Suharto, 2005;2006b):
1.      Kesejahteraan fisik: kesehatan, keamanan, sanitasi, dan perumahan pegawai.
2.      kesejahteraan budaya: rekreasi, perpustakaan, pendidikan, dan akulturasi dasar mengenai dunia kerja dan budaya Amerika.
3.      Kesejahteraan personal: pelayanan casework (konseling perseorangan) bagi para pegawai dan keluarganya.
4.      kesejahteraan ekonomi: administrasi pinjaman dan pensiun dan bahkan perekrutan, pemecatan, dan penetapan gaji karyawan.
Karena kombinasi berbagai kekuatan, seperti ketidakpuasan karyawan, perubahan ekonomi, peningkatan pelayanan sosial yang disediakan pekerja sosial masyarakat, dan pergeseran ideologi (Strausser dan Phillips,1988), kehadiran pekerjaan sosial industri menghilang dari setting industri pada tahun 1920-an dan baru muncul kembali setelah perang dunia II. Saat itu pekerjaan sosial industri, tidak hanya memberikan pelayanan sosial untuk membantu orang beradaptasi secara personal terhadap dampak perang., tetapi juga pelayanan sosial yang memungkinkan mereka untuk lebih produktif pada saat produksi.
Pekerjaan sosial bertugas sebagai pemberi pelayanan sosial langsung dalam setting serikat buruh (Kyle.1994 dan Ronalds 1963) di pemerintah militer dan federal dan kantor militer (Stanlley,1944) serta sejumlah perusahaan swasta seperti Macy’s di New York (Evans, 1940), RCA Victor di Indianapolis (Coyle,1944) , J.Lhudson Departement Store dan perusahaan asuransi jiwa Metopolitan (Palevsky, 1945). Perkembangan Pekerjaan sosial modern dimulai sejak tahun 1960-an pada saat pembentukan dua program terpisah yang bertujuan menangani kebutuhan kesehatan mental karyawan. Program yang dibentuk oleh perusahaan Polaroid di Boston dan perusahaan pakaian Amerika Amalgamasi di kota New York itu dikendalikan oleh para pekerja sosial profesional dan mampu mencatat kesuksesan (Kurzman,1988).
Perkembangan pekerjaan sosial industri ini juga didorong dengan munculnya Pusat Kesejahteraan Sosial Industri (the Industrial Social Welfare Center) yang dibentuk tahun 1969 di sekolah pekerjaan sosial Columbia University di bawah arahan Hyman J. Weiner dan didanai oleh pelayanan sosial dan rehabilitasi, departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, dan Kesejahteraan AS. Lembaga ini memiliki 3 tujuan yaitu:
a.                Membangun bank pengetahuan dan informasi berkaitan dengan pemberian pelayanan sosial terhadap populasi para pegawai.
b.                Menyediakan bantuan teknis dan pelayanan konsultasi terhadap serikat buruh, perusahaan bisnis, dan lembaga-lembaga sosial.
c.                Memberi kontribusi pada pendidikan pekerja sosial dan profesi pertolongan lainnya (CUSSW dalam Suharto, 2006). Lembaga tersebut sangat berhasil dalam mencapai tujuan ini.
Pada pertengahan tahun 1970-a, perkembangan pekerjaan sosial industri yang tadinya secara terkotak-kotak (terserak) mulai mengkerucut melalui gerakan yang terorganisir (Masi dalam Suharto 2006b). Kemajuan ini berasal dario beberapa sebab, antara lain:
1.                 Menurunkan afiliasi para pekerja sosial profesional dengan sektor publik (semula sebagian besar pekerja sosial di lembaga pemerintah);
2.                 Semakin banyaknya pekerja sosial yang membuka praktek mandiri (privat);
3.                 Perubahan angkatan kerja karena masuknya kaum wanita, minoritas, dan orang dengan kecacatan (ODK) ke dunia industri;
4.                 Disahkan sebagai peraturan dengan perundang-undang yang terkait dengan pekerjaan, seperti the Hughes Act, the Vocational Rehabilitation Act, The OCCUPATIONAL Safety and health Act, the Employee Retirement Income Security ACT, the Age Discrimination in Employment Act, dan Title VII of the Civil Rights Act;
5.                 Meningkatnya kesadaran sosial mengenai dampak tempat kerja terhadap kesehatan mental dan kecanduan alcohol di kalangan pegawai.
Selain lima kondisi di atas, semakin populernya pekerjaan sosial industri juga dipicu oleh profesionalisme pada program-program penanggulangan alkoholisme di tempat kerja, evolusi program-program bantuan bagi pegawai (Employee Asistance Programs/EAPs), serta dibentuknya program-program pelatihan di sejumlah sekolah pekerjaan sosial di seluruh AS dan Kanada yang ke;ak meningkatkan kesempatan kerja dan tersedianya pekerja sosial yang terlatih untuk posisi-posisi baru.
Jumlah pekerja sosial saat ini belum diketahui secara pasti. Namun, Asosiasi National Pekerja Sosial (National Association of Social Workers) AS menghimpun daftar alamat surat sekitar 2200 individu sebagai bagian dari survey nasional pekerjaan sosial industri yang dilaksanakan lembaga ini tahun 1985. Pada tahun 1987, tercatat ada 614 pekerja sosial berlisensi yang menjadi anggota the Association of Labor Management Administrators and consultans on Alcoholism(ALMACA), sebuah organisasi profesional utama yang mewakili para pekerja sosial yang bekerja di program-program bantuan (EAPs) bagi pegawai. Seperti dinyatakan oleh Googins (1987;37). ”Para pekerja sosial memegang posisi-posisi pimpinan dan menjadi kelompok profesional terdepan di asosiasi-asosiasi dunia kerja, seperti ALMACA, EASNA (Employeeassistance Society of North America) dan IASISW (International Association of Industrial Social Workers).
Pekerja sosial industri dewasa ini bekerja di sektor swasta, baik untuk organisasi laba maupun nir-laba di lembaga-lembaga pemerintah tingkat federal, negara bagian, dan lokal, di organisasi militer, dan serikat-serikat buruh. Survei national yang dilakukan di 39 sekolah pekerjaan sosial yang menyelenggarakan pelatihan-pelatihan pekerjaan sosial industri mengidentifikasikan bahwa 30% dari pekerja sosial industri bekerja di organisasi-organisasi swasta, 23% di kontraktor-kontraktor yang menyediakan pelayanan sosial bagi perusahaan-perusahaan besar, 17% di lembaga-lembaga pemerintah negara bagian dan lokal, 15% di serikat buruh dan 15% di lembaga pemerintahan federal (Maiden dan Hardcastle, 1985). Pekerja sosial industri mampu memberikan beragam pelayanan sosial di berbagai macam setting. Namun, sebagian besar setting pekerjaan sosial industri adalah di bidang-bidang yang berkaitan dengan program-program bantuan pegawai (EAPs).
C.    Bidang Garapan Pekerjaan Sosial Industri
1. Bidang Garapan Pekerja sosial
Guna mengenal lebih jauh fungsi dan peranan pekerjaan sosial, di bawah ini disajikan beberapa contoh bidang garapan atau setting utama yang sering kali menjadi tempat berkiprah para pekerja sosial yaitu antara lain:
1.                  Keluarga dan pelayanan anak: penguatan keluarga, konseling keluarga, pemeliharaan anak, dan adopsi, perawatan harian, pencagahan penelantaran, dan kekerasan dalam rumah tangga.
2.                  Kesehatan dan rehabilitasi: pendampingan pasien di rumah sakit, pengembangan kesehatan masyarakat, kesehatan mental. Rehabilitasi vokational, rehabilitasi pecandu obat dan alkohol, pendampingan ODHA, harm reduction programmer.
3.                  Pengembangan masyarakat: perencanaan sosial, pengorganisasian masyarakat, revitalisasi ketetanggaan, perawatan lingkungan hidup, kehutanan sosial, penguatan modal sosial, penguatan ekonomi kecil.
4.                  Jaminan sosial: skema asuransi sosial, bantuan sosial, social fund, JKSM, jaringan pengaman sosial.
5.                  Pelayanan kedaruratan: pengorganisasian bantuan: manajemen krisis, informasi dan rujukan, integrasi pengungsi, pengembangan peringatan dini masyarakat.
6.                  Pekerjaan sosial sekolah: konseling penyesuaian sekolah, manajemen perilaku pelajar, manajemen tunjangan biaya pendidikan. Pengorganisasian makan siang murid, peningkatan partisipasi keluarga dan masyarakat dalam pendidikan.
7.                  Pekerjaan sosial industri: program bantuan pegawai, penanganan stress, dan burnout, penempatan dan relokasi kerja, perencanaan pensiun, tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responbility)
2. Masalah yang ditangani Pekerja Sosial
            Berawal dari abad ke-14 di Inggris, masyarakat industri sangat ditentukan sistem pebrik. Pada zaman merkantilisme ini, pada awalnya laki-laki dan wanita bekerja di ladang atau pada perusahaan-perusahaan keluarga (informal) (Johnson,1984; Kartono, 1994).Hal ini memisahkan orang dewasa yang sebagian besar waktunya bekerja di pabrik dengan anak-anak yang ditinggalkan di rumah bersama keluarga besar atau tanpa pengawasan sama sekali. Pemisahan ini menjadi awal bagi dinamika keluarga dan masyarakat termasuk bagi munculnya permasalahan sosial yang diakibatkannya. Retaknya relasi sosial antara pekerja dan keluarganya, kurangnya kesempatan anak dalam meniru model peranan orangtua dan munculnya alinasi atau keterasingan pekerja dalam kehidupan masyarakatnya adalah beberapa contoh masalah sosial yang timbul akibat industrialisasi.
            Mekanisme dan otyomatisasi melahirkan rutinitas pekerjaan dan membuat tenaga manusia tampak semakin tidak penting. Para pekerja kerah biru maupun kerah putih merasa tidak bermakna dan terancam karena kapan saja dapat digantikan oleh saingannya, yakni mesin. Perubahan teknologi, penggantian tenaga kerja (shift), dan pemutusan hubungan kerja yang semakin menjadi fenomena dalam kehidupan sehari-hari sering menimbulkan kecemasan bagi para pekerja. Proses otomatisasi di As menggantikan sekitar 2 juta pekerjaan setiap tahunnya. Para pekerja yang merasa tidak berguna dan tidak berdaya dalam pekerjaanya seringkali membawanya ke rumah dan masyarakat. Johnson (1948:261) mengklasifikasikan akibat akibat industrialisasi yang bersifat negatif  terhadap kesejahteraan manusia ke dalam 5A yaitu:
a.       Alienation: perasaan keterasingan dari diri, keluarga, dan kelompok sosial yang menimbulkan apatis, marah, dan kecemasan.
b.      Alcoholism atau addiction: ketergantungan terhadap alkohol, obat-obat terlarang atau rokok yang dapat menurunkan produktivitas, meruasak kesehatan fisik dan psikis , dan kehidupan sosial seseorang.
c.       Absenteeism: kemangkiran kerja atau perilaku membolos kerja dikarenakan rendahnya motivasi pekerja, perasaan-perasaan malas, tidak berguna, tidak merasa memiliki perusahaan, atau sakit fisik dan psikis lainnya.
d.      Accidents: kecelakaab kerja yang diakibatkan oleh menurunnya konsentrasi pekerja atau oleh lemahnya sistem keselamaatan dan kesehatan lingkungan kerja.
e.       Abuse: bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap anak-anak atau pasangan dalam keluarga (istri/suami), seperti memukul. Dan menghardik secara berlebihan yang ditimbulkan oleh frustasi, kebosanan, kelelahan di tempat pekerjaannya.
Beberapa permasalahan lainnya yang terkait dengan masalah industrialisasi adalah: diskriminasi di tempat kerja atau tindakan-tindakan tidak adil terhadap wanita, kaum minoritas, imigran, remaja, pensiunan, dan para penyandang cacat. Beberapa industri dan perusahaan kerap menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat di sekitarnya,sepeti polusi (udara, air,suara) dan kerusakan-kerusakan fisik dan psikis para pekerjanya. Para pekerja sosial industri dapat membantu dunia industri untuk mengidentifikasi dan mengatasi berbagai biaya sosial (social care) yang ditimbulkan oleh perusahaan.
            3. Tugas Pekerja Sosial Industri
Menurut Johnson (1984:263-264) ada 3 bidang tugas pekerja sosial yang bekerja di perusahaan antara lain:
a.       Kebijakan, perencanaan dan administrasi.
Bidang ini umumnya tidak melibatkan pelayanan sosial secara langsung. Sebagai contoh, perumusan kebijakan untuk peningkatan karir, pengadministrasian program-program tindakan afirmatif, pengkoordinasian program-program jaminan sosial dan bantuan sosial bagi para pekerja , atau perencanaan kegiatan-kegiatan sosial dalam departemen perusahaan.
b.      Praktik langsung dengan individu, keluarga, dan populasi khusus.
Tugas pekerja sosial dalam bidang ini meliputi intervensi krisis (crisis intervention), assesmen (penggalian) masalah-masalah personal, dan pelayanan rujukan, pemberian konseling bagi para pensiunan atau pekerja yang menjelang pensiun.
c.       Praktik yang mengkombinasikan pelayanan sosial langsung dan perumusan kebijakan sosial bagi perusahaan.
Para pekerja sosial telah memberikan kontribusi penting dalam memanusiakan dunia kerja. Mereka umumnya terlibat dalam konseling di dalam maupun di luar perusahaan, pengorganisasianprogram-program personal, konsultasi dengan manajemen dan serikat-serikat kerja mengenai konsekuensi kebijakan-kebijakan perusahaan terhadap pekerja, serta bekerja dengan bagian kesehatan dan kepegawaian untuk meningkatkan kondisi lingkungan kerja dan kualitas tenaga kerja (Johnson,1994;Suharto,1997).



Minggu, 21 Agustus 2016

strategy supply decoupling

Strategi Supply Chain
Strategi supply chain adalah kumpulan kegiatan dan aksi strategis di sepanjang supply chain yang menciptakan rekonsiliasi antara apa yang dibutuhkan pelanggan akhir dengan kemampuan sumber daya yang ada pada supply chain tersebut.
Kriteria Produk yang Memenangkan Persaingan Pasar :
1.        Murah
2.        Berkualitas
3.        Tepat waktu
4.        Bervariasi
Kriteria Supply Chain yang Memenangkan Persaingan Pasar :
1.        Beroperasi secara efisien
2.        Menciptakan kualitas
3.        Cepat
4.        Fleksibel
5.        Inovatif
Karakteristik Produk Fungsional
1.        Siklus hidup panjang
2.        Variasi sedikit
3.        Volume per SKU tinggi
4.        Peramalan permintaan relatif mudah (akurasi tinggi)
5.        Stockout rate rendah
6.        Kelebihan di akhir musim jual sangat jarang terjadi
7.        Biaya penurunan harga jual mendekati 0%
8.        Marjin keuntungan per unit yang terjual relatif rendah
Karakteristik Produk Inovatif
1.        Siklus hidup pendek
2.        Variasi produk banyak
3.        Volume per SKU rendah
4.        Peramalan permintaan sangat sulit dilakukan
5.        Stockout rate bisa sampai 10-40 %
6.        Kelebihan di akhir musim jual sering terjadi
7.        Biaya penurunan harga jual berkisar 10-25 %
8.        Marjin keuntungan per unit yang terjual tinggi
Strategic Fit
Strategic fit adalah kesesuaian antara karakteristik produk (atau pasar) dengan supply chain. Supply chain responsif cenderung sesuai dengan produk inovatif sedangkan supply chain efisien cenderung sesuai dengan produk fungsional.
Decoupling Point (DP)
Decoupling point adalah titik temu sampai dimana suatu kegiatan bisa dilakukan atas dasar ramalan (tanpa menunggu permintaan dari pelanggan) dan dari mana kegiatan harus ditunda sampai ada permintaan pasti.
Order Penetration Point (OPP)
Order penetration point adalah istilah lain dari decoupling  point.
Postponement
Postponement adalah kebijakan menunda diferensiasi produk sampai ada pesanan dari pelanggan.

Sumber:
Pujawan, I. N. 2010. Supply Chain Management. Edisi Kedua. Surabaya: Guna Widya.

Decoupling Point

Keputusan sampai di mana aktivitas produksi bisa dilakukan tanpa menunggu permintaan definitif dari pelanggan merupakan keputusan yang sangat penting bagi suatu supply chain dan akan secara langsung berpengaruh terhadap kemampuannya untuk menciptakan efisiensi fisik maupun kecepatannya untuk merespon pasar. Titik temu di mana suatu kegiatan bisa dilakukan atas dasar ramalan dan dari mana kegiatan harus ditunda sampai ada permintaan yang pasti dinamakan decoupling point.

Biasanya proses produksi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian utama yaitu perancangan produk, fabrikasi, perakitan, dan pengiriman. Sistem produksi yang dikenal dalam keempat bagian tersebut adalah:

a. Make to Stock (MTS)
Pada MTS, produk akhir dibuat berdasarkan ramalan. MTS akan cocok dengan produk-produk fungsional yang variasinya sedikit dan ketidakpastian permintaannya relatif rendah.

b. Assembly to Order (ATO)
ATO adalah sistem di mana hanya kegiatan perakitan yang menunggu pesanan dari pelanggan, sedangkan kegiatan lainnya dilakukan berdasarkan ramalan. ATO cocok pada sistem yang memproduksi banyak variasi produk dengan kesamaan komponen antarproduk yang cukup tinggi.

c. Make to Order (MTO)
Pada sistem MTO, kegiatan fabrikasi komponen tidak bisa dikerjakan tanpa menunggu pesanan dari pelanggan karena setiap pesanan mungkin membutuhkan jenis komponen yang berbeda-beda.

d. Engineer to Order (ETO)
Pada sistem ETO, produk baru dirancang setelah ada pesanan dari pelanggan. Model ini pada umumnya digunakan jika pelanggan membutuhkan produk dengan rancangan yang spesifik. Rancangan yang spesifik ini bisa berimplikasi pada kebutuhan material dan urutan proses yang berbeda untuk setiap produk.

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9uw0HY4wLcrDUV70Fy2_NLMofY1idSfx9Gqd1SqfrtcYynfwQb9vH8a72l9O-H2mNvD05AB_7VuhUnQ2swN96KAWK_4yaMOyFj0Yg1VDu_zOj5L9V-vDCPhdNMc0GS9A76DbPIdBkdPR3/s1600/DP.png

Ada beberapa hal yang mempengaruhi letak atau posisi dari decoupling point yakni :
1.        Faktor-faktor yang berhubungan dengan market seperti delivery lead time, permintaan produk yang berubah-ubah, volume produk, customer order size dan frekuensi pemenuhan produk.
2.        Faktor-faktor yang berkaitan dengan produk seperti modularity characteristic, customization opportunities dan struktur produk
3.        Faktor-faktor yang berkaitan dengan produksi seperti production lead time dan process flexibility
Sumber : http://webkuro.blogspot.com/2011/03/strategi-supply-chain.html
gambar : http://dazzdays.wordpress.com/2009/11/01/strategy-mass-customization-postponement-modular-product/

Description: https://industri2008.files.wordpress.com/2011/11/gcodp2.jpg?w=593
Dalam melakukan penempatan decoupling point ini terdapat trade off yang harus dipertimbangkan seperti yang terlihat dalam gambar di bawah.  Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin kekanan / hilir (semakin mendekati end customer) maka semakin banyak pula jumlah persediaan yang dibutuhkan namun disisi lain resiko yang ditimbulkan terhadap keusangan produk juga semakin tinggi. Dan sebaliknya jika lokasi decoupling point semakin kekiri / hulu (semakin mendekati supplier) maka semakin tinggi pula resiko kehilangan kesempatan untuk memenuhi permintaan.

Postponement Strategy
Postponement Strategy adalah strategi yang bertujuan untuk menunda beberapa aktivitas dalamsupply chain sampai customer demand diketahui. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga adanya cost karena penumpukan inventory dan juga meningkatkan respons terhadap permintaan customer. Dalam strategi postponement, istilah decoupling point sangatlah berkaitan erat.Decoupling point atau biasa dikenal dengan customer order decoupling point (CODP) merupakan lokasi dalam jaringan distribusi dimana inventori ditempatkan untuk membuat entitas atau proses yang satu dengan yang lainya saling independen.  Posisi-posisi dari decoupling point ditunjukkan dalam gambar 1. Dalam melakukan penempatan decoupling point ini terdapat trade off yang harus dipertimbangkan seperti yang terlihat dalam gambar 2. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin kekanan / hilir (semakin mendekati end customer) maka semakin banyak pula jumlah persediaan yang dibutuhkan namun disisi lain resiko yang ditimbulkan terhadap keusangan produk juga semakin tinggi. Dan sebaliknya jika lokasi decoupling point semakin kekiri / hulu (semakin mendekati supplier) maka semakin tinggi pula resiko kehilangan kesempatan untuk memenuhi permintaan.
Gambar 1. Generic Customer Order Decoupling point

Bila dikaitkan dengan tipe dari system produksi maka derajat postponement  akan mempengaruhi tiga hal yakni information complexity, operational independence dan suppliier integration seperti yang dapat dilihat pada gambar 3. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin murni penerapan postponement maka semakin tinggi komplesitas dari informasi dan semakin harus terjalin pula hubungan yang terintegrasi dengan supplier. Sedangkan sebaliknya semakin murni penerapan postponement maka tingkat ketidaktergantungan antara operasional yang satu dan yang lainnya semakin rendah.
Gambar 3. Degree of Postponement dalam dua kontinum MTS dan BTO
Description: https://dazzdays.files.wordpress.com/2009/11/dop.jpg?w=590

Ada empat jenis postponement strategi dalam supply chain adalah :
1. Purchasing postponement
Dalam strategi ini decoupling point terletak antara supplier dan manufaktur. Artinya manufaktur menunda untuk membeli material dari supplier khususnya untuk material yang mahal dan sifatnya fragile. Dalam hal ini manufaktur ingin menekan biaya persediaan material. Sehingga material hanya digunakan ketika manufaktur akan memproduksi produk saja. Adapun ilustrasinya dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Ilustrasi Purchasing Postponement



2. Manufacturing Postponement
Dalam strategi ini decoupling point terletak pada manufaktur dimana produk masih berupa produk setengah jadi. Produk yang setengah jadi ini kemudian diproduksi ketika manufaktur telah mendapatkan order dari cusrtomer. Ilustrasi dari strategi ini dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Ilustrasi Manufacturing Postponement



3. Logistic Postponement.
Dalam strategi ini decoupling point terdapat pada distribution center. Tidak berbeda dengan manufacturing postponement, pada Logistic postponement ini produk juga masih dalam bentuk produk setengah jadi. Namun, demikian tentunya proses untuk mencapai produk akhir tidak sebanyak proses yang harus dilakukan pada manufacturing postponement misalnya saja proses perakitan atau packaging. Ilustrasi dari logistic postponement ini dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Ilutsrasi Logistic Postponement


Modularity Product Design
Modularity product design adalah suatu konsep product design yang  berkaitan erat dengan pendekatan mass customization dan strategi postponement. Modular product design memiliki pengertian mngembangkan suatu produk dengan cara membagi produk tersebut menjadi beberapa komponen atau modul yang saling independent. Hal ini dimaksudkan agar komponen-komponen tersebut dapat dirakit atau digabungkan dengan berbagai cara untuk menghasilkan beberapa variasi produk yang berbeda satu sama lainnya. Suatu produk dapat dikatakan modular tegantung pada kesamaan fungsi dan desain fisik. Komponen-komponen yang memiliki kesamaan dalam fungsi dan desain fisik ini biasa disebut sebagai common component.
Ulrich mengatakan bahwa modularity design dapat meningkatkan variasi dari produk namun dilain sisi juga mengakibatkan delivery time menjadi lebih pendek. Selain itu modularity product design juga memiliki keuntungan dalam menurunkan cost. Dalam product development, modularity product design dapat dilakukan di berbagai level produk yakni :
1.        Component Level
2.        Module Level
3.        Subsystem Level
4.        System Level
Daftar Pustaka :
1.        Pollard, D., Chuo, S., Lee, B. (2008). Strategies for Mass customization. Journal of Business & Economics Research
2.        Prasad, S., Tata, J., Madam, M.(2005). Build to order supply chain in developed and developing countries. Journal of Operation Management PP. 551-568

ipoleksosbud adalah singkatan dari kata ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.  Istilah ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya apabila disingkat yaitu menjadi ipoleksosbud. Akronim  ipoleksosbud (ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya) merupakan singkatan/akronim resmi dalam Bahasa Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, hampir semua perusahaan besar mengejar inisiatif tentang keberlanjutan. Tekanan dari regulator, konsumen, karyawan dan pemegang saham membuat hampir sebagian besar perusahaan menerapkan dan meningkatkan inisiatif keberlanjutan ini di dalam sistem rantai pasokan (supply chain) mereka. Kita mungkin tahu bahwa hampir setiap perusahaan mempunyai satu divisi yang dinamakan Corporate Social Responsible (CSR). Salah satu komponen penting dalam CSR  adalah rantai pasokan yang berkelanjutan (Supply Chain Sustainability / SCS). SCS ini harus memastikan bahwa perusahaan memenuhi persyaratan dan harapan sosial, lingkungan dan ekonomi. SCS berbicara mengenai suatu hal yang lebih besar dan lebih luas daripada pengiriman, persediaan dan biaya yang biasanya merupakan fokus dari perusahaan.

Apa itu SCS ?
Supply Chain yang berkelanjutan (SCS) adalah pengelolaan lingkungan, sosial dan ekonomi, dan menggalakkan praktik tata kelola yang baik untuk seluruh siklus barang dan jasa. Tujuan dari SCS adalah untuk menciptakan, melindungi dan meningkatkan nilai lingkungan, sosial dan ekonomi jangka panjang dari semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam membawa produk dan layanan ke pasar. (Sumber: UN Global Impact)
Supply Chain yang berkelanjutan (SCS) adalah masalah bisnis yang mempengaruhi rantai pasokan atau jaringan logistik suatu organisasi dalam hal lingkungan, risiko dan biaya limbah. Ada kebutuhan yang berkembang untuk mengintegrasikan pilihan yang ramah lingkungan ke dalam manajemen rantai pasokan. (Sumber: Wikipedia)
Mengapa SCS itu penting ?
Ada berbagai alasan mengapa perusahaan harus menerapkan SCS. Alasan utama adalah untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku Selain itu juga untuk mendukung prinsip-prinsip internasional dalam melakukan bisnis yang berkelanjutan. Dengan menerapkan SCS, perusahaan bertindak demi kepentingan mereka sendiri, kepentingan stakeholder dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini tentu saja perusahaan akan memperoleh manfaat dengan jika menerapkan SCS. Dengan kata lain kita dapat mengatakan bahwa SCS sudah tidak lagi menjadi satu hal yang optional melainkan merupakan suatu keharusan karena SCS sangat penting  untuk keberhasilan perusahaan.