Minggu, 21 Agustus 2016

strategy supply decoupling

Strategi Supply Chain
Strategi supply chain adalah kumpulan kegiatan dan aksi strategis di sepanjang supply chain yang menciptakan rekonsiliasi antara apa yang dibutuhkan pelanggan akhir dengan kemampuan sumber daya yang ada pada supply chain tersebut.
Kriteria Produk yang Memenangkan Persaingan Pasar :
1.        Murah
2.        Berkualitas
3.        Tepat waktu
4.        Bervariasi
Kriteria Supply Chain yang Memenangkan Persaingan Pasar :
1.        Beroperasi secara efisien
2.        Menciptakan kualitas
3.        Cepat
4.        Fleksibel
5.        Inovatif
Karakteristik Produk Fungsional
1.        Siklus hidup panjang
2.        Variasi sedikit
3.        Volume per SKU tinggi
4.        Peramalan permintaan relatif mudah (akurasi tinggi)
5.        Stockout rate rendah
6.        Kelebihan di akhir musim jual sangat jarang terjadi
7.        Biaya penurunan harga jual mendekati 0%
8.        Marjin keuntungan per unit yang terjual relatif rendah
Karakteristik Produk Inovatif
1.        Siklus hidup pendek
2.        Variasi produk banyak
3.        Volume per SKU rendah
4.        Peramalan permintaan sangat sulit dilakukan
5.        Stockout rate bisa sampai 10-40 %
6.        Kelebihan di akhir musim jual sering terjadi
7.        Biaya penurunan harga jual berkisar 10-25 %
8.        Marjin keuntungan per unit yang terjual tinggi
Strategic Fit
Strategic fit adalah kesesuaian antara karakteristik produk (atau pasar) dengan supply chain. Supply chain responsif cenderung sesuai dengan produk inovatif sedangkan supply chain efisien cenderung sesuai dengan produk fungsional.
Decoupling Point (DP)
Decoupling point adalah titik temu sampai dimana suatu kegiatan bisa dilakukan atas dasar ramalan (tanpa menunggu permintaan dari pelanggan) dan dari mana kegiatan harus ditunda sampai ada permintaan pasti.
Order Penetration Point (OPP)
Order penetration point adalah istilah lain dari decoupling  point.
Postponement
Postponement adalah kebijakan menunda diferensiasi produk sampai ada pesanan dari pelanggan.

Sumber:
Pujawan, I. N. 2010. Supply Chain Management. Edisi Kedua. Surabaya: Guna Widya.

Decoupling Point

Keputusan sampai di mana aktivitas produksi bisa dilakukan tanpa menunggu permintaan definitif dari pelanggan merupakan keputusan yang sangat penting bagi suatu supply chain dan akan secara langsung berpengaruh terhadap kemampuannya untuk menciptakan efisiensi fisik maupun kecepatannya untuk merespon pasar. Titik temu di mana suatu kegiatan bisa dilakukan atas dasar ramalan dan dari mana kegiatan harus ditunda sampai ada permintaan yang pasti dinamakan decoupling point.

Biasanya proses produksi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian utama yaitu perancangan produk, fabrikasi, perakitan, dan pengiriman. Sistem produksi yang dikenal dalam keempat bagian tersebut adalah:

a. Make to Stock (MTS)
Pada MTS, produk akhir dibuat berdasarkan ramalan. MTS akan cocok dengan produk-produk fungsional yang variasinya sedikit dan ketidakpastian permintaannya relatif rendah.

b. Assembly to Order (ATO)
ATO adalah sistem di mana hanya kegiatan perakitan yang menunggu pesanan dari pelanggan, sedangkan kegiatan lainnya dilakukan berdasarkan ramalan. ATO cocok pada sistem yang memproduksi banyak variasi produk dengan kesamaan komponen antarproduk yang cukup tinggi.

c. Make to Order (MTO)
Pada sistem MTO, kegiatan fabrikasi komponen tidak bisa dikerjakan tanpa menunggu pesanan dari pelanggan karena setiap pesanan mungkin membutuhkan jenis komponen yang berbeda-beda.

d. Engineer to Order (ETO)
Pada sistem ETO, produk baru dirancang setelah ada pesanan dari pelanggan. Model ini pada umumnya digunakan jika pelanggan membutuhkan produk dengan rancangan yang spesifik. Rancangan yang spesifik ini bisa berimplikasi pada kebutuhan material dan urutan proses yang berbeda untuk setiap produk.

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9uw0HY4wLcrDUV70Fy2_NLMofY1idSfx9Gqd1SqfrtcYynfwQb9vH8a72l9O-H2mNvD05AB_7VuhUnQ2swN96KAWK_4yaMOyFj0Yg1VDu_zOj5L9V-vDCPhdNMc0GS9A76DbPIdBkdPR3/s1600/DP.png

Ada beberapa hal yang mempengaruhi letak atau posisi dari decoupling point yakni :
1.        Faktor-faktor yang berhubungan dengan market seperti delivery lead time, permintaan produk yang berubah-ubah, volume produk, customer order size dan frekuensi pemenuhan produk.
2.        Faktor-faktor yang berkaitan dengan produk seperti modularity characteristic, customization opportunities dan struktur produk
3.        Faktor-faktor yang berkaitan dengan produksi seperti production lead time dan process flexibility
Sumber : http://webkuro.blogspot.com/2011/03/strategi-supply-chain.html
gambar : http://dazzdays.wordpress.com/2009/11/01/strategy-mass-customization-postponement-modular-product/

Description: https://industri2008.files.wordpress.com/2011/11/gcodp2.jpg?w=593
Dalam melakukan penempatan decoupling point ini terdapat trade off yang harus dipertimbangkan seperti yang terlihat dalam gambar di bawah.  Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin kekanan / hilir (semakin mendekati end customer) maka semakin banyak pula jumlah persediaan yang dibutuhkan namun disisi lain resiko yang ditimbulkan terhadap keusangan produk juga semakin tinggi. Dan sebaliknya jika lokasi decoupling point semakin kekiri / hulu (semakin mendekati supplier) maka semakin tinggi pula resiko kehilangan kesempatan untuk memenuhi permintaan.

Postponement Strategy
Postponement Strategy adalah strategi yang bertujuan untuk menunda beberapa aktivitas dalamsupply chain sampai customer demand diketahui. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga adanya cost karena penumpukan inventory dan juga meningkatkan respons terhadap permintaan customer. Dalam strategi postponement, istilah decoupling point sangatlah berkaitan erat.Decoupling point atau biasa dikenal dengan customer order decoupling point (CODP) merupakan lokasi dalam jaringan distribusi dimana inventori ditempatkan untuk membuat entitas atau proses yang satu dengan yang lainya saling independen.  Posisi-posisi dari decoupling point ditunjukkan dalam gambar 1. Dalam melakukan penempatan decoupling point ini terdapat trade off yang harus dipertimbangkan seperti yang terlihat dalam gambar 2. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin kekanan / hilir (semakin mendekati end customer) maka semakin banyak pula jumlah persediaan yang dibutuhkan namun disisi lain resiko yang ditimbulkan terhadap keusangan produk juga semakin tinggi. Dan sebaliknya jika lokasi decoupling point semakin kekiri / hulu (semakin mendekati supplier) maka semakin tinggi pula resiko kehilangan kesempatan untuk memenuhi permintaan.
Gambar 1. Generic Customer Order Decoupling point

Bila dikaitkan dengan tipe dari system produksi maka derajat postponement  akan mempengaruhi tiga hal yakni information complexity, operational independence dan suppliier integration seperti yang dapat dilihat pada gambar 3. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin murni penerapan postponement maka semakin tinggi komplesitas dari informasi dan semakin harus terjalin pula hubungan yang terintegrasi dengan supplier. Sedangkan sebaliknya semakin murni penerapan postponement maka tingkat ketidaktergantungan antara operasional yang satu dan yang lainnya semakin rendah.
Gambar 3. Degree of Postponement dalam dua kontinum MTS dan BTO
Description: https://dazzdays.files.wordpress.com/2009/11/dop.jpg?w=590

Ada empat jenis postponement strategi dalam supply chain adalah :
1. Purchasing postponement
Dalam strategi ini decoupling point terletak antara supplier dan manufaktur. Artinya manufaktur menunda untuk membeli material dari supplier khususnya untuk material yang mahal dan sifatnya fragile. Dalam hal ini manufaktur ingin menekan biaya persediaan material. Sehingga material hanya digunakan ketika manufaktur akan memproduksi produk saja. Adapun ilustrasinya dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Ilustrasi Purchasing Postponement



2. Manufacturing Postponement
Dalam strategi ini decoupling point terletak pada manufaktur dimana produk masih berupa produk setengah jadi. Produk yang setengah jadi ini kemudian diproduksi ketika manufaktur telah mendapatkan order dari cusrtomer. Ilustrasi dari strategi ini dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Ilustrasi Manufacturing Postponement



3. Logistic Postponement.
Dalam strategi ini decoupling point terdapat pada distribution center. Tidak berbeda dengan manufacturing postponement, pada Logistic postponement ini produk juga masih dalam bentuk produk setengah jadi. Namun, demikian tentunya proses untuk mencapai produk akhir tidak sebanyak proses yang harus dilakukan pada manufacturing postponement misalnya saja proses perakitan atau packaging. Ilustrasi dari logistic postponement ini dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Ilutsrasi Logistic Postponement


Modularity Product Design
Modularity product design adalah suatu konsep product design yang  berkaitan erat dengan pendekatan mass customization dan strategi postponement. Modular product design memiliki pengertian mngembangkan suatu produk dengan cara membagi produk tersebut menjadi beberapa komponen atau modul yang saling independent. Hal ini dimaksudkan agar komponen-komponen tersebut dapat dirakit atau digabungkan dengan berbagai cara untuk menghasilkan beberapa variasi produk yang berbeda satu sama lainnya. Suatu produk dapat dikatakan modular tegantung pada kesamaan fungsi dan desain fisik. Komponen-komponen yang memiliki kesamaan dalam fungsi dan desain fisik ini biasa disebut sebagai common component.
Ulrich mengatakan bahwa modularity design dapat meningkatkan variasi dari produk namun dilain sisi juga mengakibatkan delivery time menjadi lebih pendek. Selain itu modularity product design juga memiliki keuntungan dalam menurunkan cost. Dalam product development, modularity product design dapat dilakukan di berbagai level produk yakni :
1.        Component Level
2.        Module Level
3.        Subsystem Level
4.        System Level
Daftar Pustaka :
1.        Pollard, D., Chuo, S., Lee, B. (2008). Strategies for Mass customization. Journal of Business & Economics Research
2.        Prasad, S., Tata, J., Madam, M.(2005). Build to order supply chain in developed and developing countries. Journal of Operation Management PP. 551-568

ipoleksosbud adalah singkatan dari kata ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.  Istilah ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya apabila disingkat yaitu menjadi ipoleksosbud. Akronim  ipoleksosbud (ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya) merupakan singkatan/akronim resmi dalam Bahasa Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, hampir semua perusahaan besar mengejar inisiatif tentang keberlanjutan. Tekanan dari regulator, konsumen, karyawan dan pemegang saham membuat hampir sebagian besar perusahaan menerapkan dan meningkatkan inisiatif keberlanjutan ini di dalam sistem rantai pasokan (supply chain) mereka. Kita mungkin tahu bahwa hampir setiap perusahaan mempunyai satu divisi yang dinamakan Corporate Social Responsible (CSR). Salah satu komponen penting dalam CSR  adalah rantai pasokan yang berkelanjutan (Supply Chain Sustainability / SCS). SCS ini harus memastikan bahwa perusahaan memenuhi persyaratan dan harapan sosial, lingkungan dan ekonomi. SCS berbicara mengenai suatu hal yang lebih besar dan lebih luas daripada pengiriman, persediaan dan biaya yang biasanya merupakan fokus dari perusahaan.

Apa itu SCS ?
Supply Chain yang berkelanjutan (SCS) adalah pengelolaan lingkungan, sosial dan ekonomi, dan menggalakkan praktik tata kelola yang baik untuk seluruh siklus barang dan jasa. Tujuan dari SCS adalah untuk menciptakan, melindungi dan meningkatkan nilai lingkungan, sosial dan ekonomi jangka panjang dari semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam membawa produk dan layanan ke pasar. (Sumber: UN Global Impact)
Supply Chain yang berkelanjutan (SCS) adalah masalah bisnis yang mempengaruhi rantai pasokan atau jaringan logistik suatu organisasi dalam hal lingkungan, risiko dan biaya limbah. Ada kebutuhan yang berkembang untuk mengintegrasikan pilihan yang ramah lingkungan ke dalam manajemen rantai pasokan. (Sumber: Wikipedia)
Mengapa SCS itu penting ?
Ada berbagai alasan mengapa perusahaan harus menerapkan SCS. Alasan utama adalah untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku Selain itu juga untuk mendukung prinsip-prinsip internasional dalam melakukan bisnis yang berkelanjutan. Dengan menerapkan SCS, perusahaan bertindak demi kepentingan mereka sendiri, kepentingan stakeholder dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini tentu saja perusahaan akan memperoleh manfaat dengan jika menerapkan SCS. Dengan kata lain kita dapat mengatakan bahwa SCS sudah tidak lagi menjadi satu hal yang optional melainkan merupakan suatu keharusan karena SCS sangat penting  untuk keberhasilan perusahaan.